KENYATAAN X HALUSINASI

4 1 0
                                    

Saat ini, semua peserta berkumpul di aula atau ruang khusus perlombaan atau acara besar yang berada di lantai sepuluh. Ruangannya sangat besar dan luas daripada aula di hotel saat aku lomba di DKI. Kali ini, para peserta duduk melingkar di sebuah meja yang bisa diisi empat orang. Meja-meja tersebut disebar di berbagai tempat sampai ke belakang. Aku menghitung ada sekitar empat puluh meja jika dikalikan empat berarti ada 160 orang yang akan menghadiri acara. Untuk para peserta berkumpul di belakang panggung. Sebelum latihan, bundo bilang "Ferdian, tahun ini tuan rumahnya Gubernur Surabaya jadi jangan lupa tatap mata jurinya karena beliau yang menjadi juri." Aku tahu bagaimana pentingya eye contact dalam kehidupan. Ilmu tersebut sangat diperlukan dalam sebuah perlombaan, interview, dan bercerita kepada seseorang. Mamaku selalu mengingatkan jika kita ingin dilihat dan didengarkan selalu tatap matanya karena kalau kita berbicara dengan mata jajan atau melihat kemana-mana, maka orang yang melihat kita akan merasa bosan dan tidak peduli.

Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul 15.00 sore. Aku adalah peserta ke-25 yang merupakan perwakilan dari provinsi DKI Jakarta. Tiga nomor lagi, namaku di panggil, aku duduk di atas bangku berwarna biru di belakang panggung. Sebelum masuk, tanganku kedinginan karena di dalam suhu AC nya lebih dingin daripada biasanya. Saat aku sedang menggosok kedua tanganku. Bundo mengirimi swafoto miliknya yang sedang menikmati Roti Croissant, roti dari Prancis. Bundo membuatku mengiler karena roti itu sangat lezat dan enak. Aku pernah mencoba roti tersebut saat jalan-jalan ke Prancis bersama papa dan mamaku saat umur sembilan tahun. Apalagi ayahku belinya saat baru di panggang, aromanya semerbak dan rasanya luar biasa. Aku berharap bisa pergi ke sana suatu saat nanti.

Saat aku sedang memikirkan roti, bundo mengirim fotonya kembali, aku melihat dan memperbesar foto. Ternyata di belakang banyak supporter dari peserta Surabaya. Siapa yang tidak gembira jika banyak pendukung yang datang. Bundo juga mengirim foto makanan dan minuman yang ada di meja. Aku melihat di atas meja bundar yang dilapisi taplak berwarna putih, terdiri banyak makanan dari luar dan beberapa cemilan dari Surabaya. Sebenarnya aku tidak suka dengan konsep penonton yang duduk melingkar, pasti banyak yang memutar kepala untuk menonton. Namun, bundo bilang mereka membuat konsep penonton agar bisa merasakan sensasi melihat peserta sembari makan seperti di acara Oscar. Bundo menegaskan juga konsep itu dipakai karena banyak pejabat yang antusias menonton.

Ini sudah peserta nomor 24 dari provinsi Jawa Barat. Setelah ia tampil kini giliranku. Setiap peserta memiliki keunikan masing-masing karena setiap peserta harus memiliki kostum yang sesuai dengan tema puisinya. Aku melihat banyak sekali warna-warni dari masing-masing wilayah. Ada yang memakai pakaian adat, kebaya, seragam sekolah dan masih banyak lagi. Kali ini, aku memakai kostum pantai karena menyesuaikan dengan isi puisiku yang bercerita tentang Kerinduan Pada Seseorang. Aku sangat merindukan kedua orangtuaku, bundo selalu mengetahui isi hatiku. Demikian, ia memintaku menuliskan sebuah puisi tentang apa yang kurasakan saat ini. Puisi yang kutulis dari hati untuk ketiga kalinya berjudul Menatap Senja Di Pinggir Laut. Aku menulis puisi ini setelah aku memenangkan kompetisi di DKI. Setelah pulang dari perlombaan, aku dan Margaret berencana untuk pergi ke Ancol untuk menyegarkan pikiran karena Hari Seninnya, kami melaksanakan ulangan harian. Saat di pantai, aku dan Margaret berjemur diri, aku tahu betul wilayah utara paling panas daripada wilayah lainnya. Saat jam sudah menunjukkan pukul 15.30 sore, aku meminta Margaret untuk satu jam lagi pulangnya karena aku ingin melihat senja di Pantai Ancol. Aku menunggu begitu lama dengan obrolan sedih bersama Margaret. Ketika obrolan kami sedang berhenti, aku bisa melihat senja. Saat itu juga pikiranku sedang terbuka, aku mendapatkan ide untuk menulis sebuah puisi dari sebuah senja yang kulihat dan kubalut dengan kerinduanku pada kedua orangtuaku karena pantai adalah tempat favorit kami. Setelah mendapat ide, aku berteriak sekencang mungkin dan kembali berenang kemudian berteriak kembali. Margaret hanya bisa tersenyum dan berteriak "Dasar gila lo, hahaha."

"Ferdian, sudah siap." Tanya seorang MC yang membuatku bangun dari lamunanku.

"Sudah, kak." Ucapku

"Baik, dalam hitungan 1,2,3 langsung masuk stage ya." Ucapnya.

Setelah hitungan 1,2,3 jantungku berdetak begitu kencang seperti dipompa dengan kasar. Tanganku kembali dingin namun aku harus bisa mengontrol diri karena ini adalah panggungku dan aku yang berkuasa atas panggung ini. Aku menghela napas perlahan dan senyum kepada semua penonton. Lampu ditengah menyorotiku, studio dalam keadaan gelap karena konsep ini yang kumau. Aku memperkenalkan diriku kepada semua penonton. Kertas yang awalnya kupegang di tangan kiri ikut gemetar namun sudah tidak lagi karena aku sudah menguasai panggung dengan membangun interaksi bersama penonton.

"Baik penonton, saya ingin semua orang yang ada di dalam ruangan ini hening dan pandangan hanya kepada saya. Tidak boleh ada tepuk tangan selama yang membaca karena puisi yang akan saya bawakan tentang sebuah kerinduan yang dibalut dengan kesedihan, kehampaan, dan sebuah kenangan di sebuah pantai, di waktu senja mendatang, terima kasih." Ucapku kemudian diikuti suara tepuk tangan penonton.

Aku mulai membaca puisiku dari judul, puisiku berjudul Menatap Senja Di Pinggir Laut. Setelah pembacaan judul, aku beralih ke isi puisi yang dimulai dari bait pertama dan seterusnya. Aku mengeluarkan ekspresi sedih, aku meneteskan air mata di beberapa bagian. Semua yang kurasakan, kukeluarkan di atas panggung dengan emosi yang menggebu-gebu. Kuhempaskan setiap apa yang ku rasakan bersama kedua orangtuaku, seperti cinta, kasih sayang dan kenangan menyedihkan sepulang dari Yogjakarta. Lampu yang menyorotiku di ruang gelap membuat nuansa begitu dramatis ditambah hanya suaraku yang bergema di ruangan tersebut. Tak lama puisi yang kubacakan, kuhabiskan dengan sangat puas dan menatap kelima mata juri. Puisi yang kubacakan tidak ada kesalahan sama sekali dan sempurna di mataku. Setelah membaca puisi, aku menundukkan kepalaku sebagai bentuk terima kasih, aku mendapatkan banyak tepuk tangan bahkan juri memberi standing ovation untukku. Setelah itu aku kembali ke belakang panggung dan bernapas lega.

Aku membuka ponselku dan bundo mengirim sebuah pesan

"Ferdian, kamu halusinasi ya. Keknya bundo gak ngajarin kamu begitu." Isi pesan dari Bundo

Aku langsung berpikir sejenak, apa yang bundo maksud. Saat aku sedang berpikir, bundo mengirim videoku. Aku membuka video tersebut dan aku terkejut bukan main karena aku menyaksikan diriku membaca puisi dengan menari. Aku mendengar suara penonton yang menertawaiku. Jadi selama di panggung aku teler, tiba-tiba kepalaku pusing kemudian pandanganku hitam dan menjatuhkan diriku karena punggungku terasa berat.

Sang MultitalentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang