Aku terlelap dalam malam yang begitu kelam bersamaan dengan lampu tidurku yang gelap gulita, hanya sebuah bulan purnama yang tampak dari jendela kamarku. Hal terakhir yang kulakukan sebelum terlelap tidur yaitu membanting pintu kamarku dengan kencang dan berbarengan dengan sahutan dari Om Budi yang mengatakan "Dasar anak durhaka." Sejujurnya, Om Budi dan Tante Mei hanyalah sebuah parasit atau lebih tepatnya orang-orang yang hanya merugikan orang lain. Aku masih ingat pasca kecelakaan kedua orangtuaku, mereka selalu menutup-nutupi kasus kematian kedua orangtuaku. Jika aku bertanya kepada oma, ia selalu bilang "Kematian merupakan bagian dari takdir Tuhan."
Aku belum tahu pasti. Namun, aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri "Apakah saat aku dalam keadaan koma, kedua orantuaku benar-benar meninggal dalam kecelakaan atau meninggal di rumah sakit?" Tante Gina dan Om Budi selalu bungkam bahkan hanya memberikan jawaban yang sama ketika aku bertanya tentang kecelakaan dari Yogyakarta.
Satu hal yang membuatku membenci mereka adalah selalu menjadikanku sebagai korban untuk memenuhi kemauan anak-anaknya, Andri dan Erlin. Semua yang kupunya selalu di minta oleh Andri dari jam tangan Rolex yang merupakan hadiah ulang tahunku yang ke-14, aku mendapatkan jam tersebut dari Ayah Margaret kemudian, saat aku memenangkan lomba cerdas cermat di Tokyo setengah hadiah dari uang lombaku dipinta oleh Andri dan Erlin untuk membeli mainan mahal. Beberapa hal lainnya yang dipinta oleh mereka ada jaket kulit hitamku yang mahal, Burung Beo, sepatu futsal, helm motorku, uang perlombaan, beberapa mainanku, dan harta warisan kedua orangtuaku. Aku tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun itu aku akan terus mengingat tentang warisan kedua orangtuaku dan sifat jahat mereka yang melebihi sifat iblis.
Erlin dan Andri, mereka berdua seperti kehilangan akal bahkan saat mengerjakan tugas matematika dan bahasa Inggris. Aku menyebut mereka sebagai orang gila yang tidak pernah sama sekali belajar. Semua tugas mereka selalu aku yang mengerjakan dari tugas praktek, tugas essay, pilihan ganda, dan apapun bentuk tugas tersebut, aku yang harus mengerjakan. Dulu, mungkin aku masih sabar menghadapi mereka semua karena aku masih takut dan berpikir bahwa mereka adalah orang dewasa tapi aku bukan sebuah domba dan mereka bukan seorang gembala. Namun, untuk hari ini dan seterusnya aku bukan budak mereka atau seperti orang-orang yang mudah dibodohi. Cukup kesabaranku habis setelah menahan emosi sekian lamanya. Seperti gunung merapi yang menahan lava panas. Namun, ketika dia tidak bisa membendung panasnya lava, maka ia harus mengeluarkan amarahnya dan membumihanguskan sekitarnya.
Karen dan Alam, mereka sepupu yang menurutku cerdas. Namun, mereka masih jauh untuk mengejarku. Prestasi mereka tidak sebanding denganku. Om Dylan tidak pernah menuntun mereka berdua untuk menjadi anak yang berprestasi, justru aku yang membuat mereka menjadi berprestasi seperti halnya ayahku yang menuntunku untuk menjadi siswa berprestasi. Tante Gina lebih perhatian kepada Alam dan Om Dylan lebih perhatian kepada Karen. Aku tidak mengerti mengapa Om Dylan dan Tante Gina hanya mencintai masing-masing anak mereka dengan wajah yang menurut mereka mirip. Tante Gina cukup ramah dan perhatian kepadaku walau sebenarnya ia sering menghabiskan waktu bersama Om Dylan daripada bersama anak-anaknya. Om Dylan terkadang sosok yang impulsif atau suka berubah-rubah pola pikirnya. Sejak menjadi mualaf Om Dylan lebih fokus beribadah. Tapi, saking taatnya, ia sering melupakan anaknya bahkan menjadi pendiam setelah kedua orangtua dan ayahku meninggal. Dari sinilah aku melihat keanehan dari Om Dylan bahkan aku menyebutnya sebagai seorang fanatik agama.
Saat ini, aku membuka jendela kamarku dan memandangi bulan dan jalanan di luar. Angin malam masuk melalui jendela dan melewati telinga, membuatku merinding sesaat. Aku melamun sendirian di dekat jendela dan aku tidak sabar menunggu Hari Selasa. Aku melihat jam di ponselku sudah pukul 22.15 yang berarti aku tidur kurang lebih sembilan jam. Aku membuka pesan Whatsapp dan ternyata ada sebuah pesan masuk dari Karen, saat jam 14.00 siang "Fer, i'm so sorry ya soal kejadian tadi, gua bener-bener gak nyangka pas di meja makan, gua malah diem dan gak nolongin lu. Gua pamit ya, Fer. Tante Gina dan keluarganya juga udah pada pulang kok." Aku membaca pesan tersebut merasa bersalah atas apa yang kulakukan. Namun, hal itu kulakukan karena sudah lama aku memendam sebuah dendam yang begitu lama, lebih baik kukeluarkan kekesalanku daripada membicarakan mereka dari belakang.
Aku menyalakan lampu kamarku dan membuka pintu secara perlahan-lahan. Saat aku membuka pintu dan melihat keadaan di bawah, ternyata semua lampu ruangan sudah dimatikan. Aku melihat seragam olahraga yang di sangkutkan di gagang pintu kamarku. Aku rasa Bi Ida ingin masuk ke dalam kamarku. Namun, karena pintu kamar kukunci, ia meletakkan seragam olahragaku di gagang pintu. Aku balik lagi ke kamar dan mematikan lampu. Aku beranjak ke kasur dan membiarkan jendela kamarku terbuka agar aku bisa memandang rembulan kemudian terlelap tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Multitalenta
Fiksi RemajaDISCLAIMER!!! NOVEL INI PENUH DENGAN ADEGAN 18+ KEKERASAN, KATA-KATA KASAR, PEMBULIAN, BUNUH DIRI DAN KEHIDUPAN SEKS SERTA PENYAKIT SEKSUAL. "Di balik otak yang cerdas, terdapat jiwa yang kotor." Bagitulah isi novel Sang Multitalenta : Tahun pertama...