Disturbance

5.9K 298 2
                                        

Jika Gabby dan Gavin mulai dekat, lain hal dengan Arsila yang semakin menjauh dengan Gavin, dia marah ternyata Gavin benar benar memilih Gabby dari pada dia yang sudah kenal dekat dengannya.

Bahkan tadi siang orangtua Gavin datang untung memutuskan perjodohan mereka. Arsila juga marah mendengar bahwa Gavin dan Gabby semakin terlihat dekat. Dia mengetahui hal itu dari seseorang yang Arsila sewa untuk memantau Gavin. Gavin itu miliknya.

Jika Gavin tidak menjadi miliknya dia tidak akan bahagia, dan jika Arsila tidak bahagia maka Gavin pun juga harus begitu. Arsila tersenyum miring, memikirkan cara agar Gavin tidak bahagia seperti dirinya. .

Dia berjalan menuju nakas samping tempat tidur, mendial orang suruhannya lalu memerintahkan sesuatu pada nya.

***

Masih di hari yang sama, namun ditempat yang berbeda. Gabby kini sedang duduk di sofa ruangan Gavin, entah untuk apa dia disini. Namun setiap dia beranjak hendak pergi dari ruangan Gavin, Gavin selalu menatapnya dengan tajam. Tapi jika dia duduk anteng disana, Gavin selalu tersenyum saat sesekali menatapnya.

"Pak saya ijin keluar ya, ada kerjaan yang belum selesai" Gabby memelas.

Gavin mendongak, menatap Gabby tajam. "Gak, kamu disini saja"

"Yaelah pak mau ngapain gue disini" Saking kesalnya Gabby kembali berbicara informal pada Gavin.

Gavin menatap Gabby, lalu memanggil orang lewat interkom. Saat orang itu datang, ternyata itu managernya. Gavin memerintahkan sebagian berkas di kubikel Gabby diambil kesini, dan sebagian lagi untuk dibagikan pada karyawan yang lain.

Gabby menatap Gavin dengan mata melotot, Gabby melirik managernya lalu tersenyum kaku. Dan sang manager yang mendapatkan perintah itu hanya mengangguk tidak membantah atau menegur Gabby yang duduk santai disofa.

Gabby meringis saat berkas itu sudah ada di hadapannya untuk dia kerjakan, dia mendongak menatap Gavin yang masih menatapnya.

"Kerjakan disini Gabby"

"Gabisa di ruangan saya saja pak?"

"Ngga, disini aja!" Ucap Gavin tegas.

Gabby menghela nafas kesal, lalu mengerjakan berkas-berkas dihadapannya.

Dan Gavin kembali melanjutkan pekerjaannya saat Gabby mulai tenang.

***

Menjelang makan siang Gabby langsung keluar ruangan Gavin, dia mencari kesempatan untuk pergi. Dan saat Gavin masuk ke dalam toilet, Gabby dengan cepat pergi dari ruangan itu.

Gabby menghembuskan nafasnya, dia berjalan keluar area kantor, berniat makan di luar kantor saja. Karna jika di cafetaria dia takut Gavin juga kesana.

Dia bergidik, setelah dia mengingat momen mereka sewaktu kecil yang tidak disengaja itu. Entah kenapa Gabby merasa Gavin tidak mau jauh darinya, saat tadi mereka sampai pun Gavin kembali menggenggam tangannya. Dan yang terakhir dia harus mengerjakan pekerjaannya di hadapan Gavin. Macam orang posessive.

Gabby berjalan santai, dia mulai menyebrangi jalanan ke arah resto yang jaraknya dekat dengan kantor. Namun saat di pertengahan jalan, Gabby melihat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju kearahnya.

Dia terkejut saat mobil itu dengan kencang melaju kearahnya. Gabby dengan sekuat tenaga berlari menghindar, namun tetap saja sebagian badan Gabby tertabrak yang membuat dia terjatuh ke sisi jalan.

BRUGG

"Sshh" Gabby meringis sakit di beberapa bagian tubuhnya.

Dia menatap dengkulnya yang mengeluarkan darah. Gabby meniupnya pelan. Dan mencoba berjalan tertatih kearah pinggiran jalan, dengan dibantu oleh beberapa orang.

"Itu yang ngendarainnya gila apa ya!" Gabby memberenggut kesal, tidak ada wajah ingin menangis. Gabby hanya meringis dan menggerutu kesal dengan orang yang membawa mobil.

Saat Gabby masih fokus menggerutu dan menyumpahi pengendara itu, ada lengan kekar yang langsung mengangkat badannya tanpa beban.

"E-eh astagaaa pak!" Ucap Gabby panik, saat ternyata yang menggendongnya adalah Gavin.

Gavin dengan rahang mengeras berjalan cepat dengan Gabby yang dia gendong ala bridal style. Dia membawa Gabby menuju mobilnya dan pergi menjauh dari area kantor.

Saat dijalan Gavin tetap diam, fokus menatap jalanan. Dan tidak lupa dia menggenggam tangan Gabby dengan sedikit erat.

"Pak—pak, bapak kenapa pak?" Tanya Gabby sembari meringis merasakan perih dan sakit dibeberapa bagian tubuhnya.

Gavin menoleh pada Gabby, "kamu kenapa pergi tanpa ijin saya Gabby!" Sentak Gavin.

"Lah, emang harus?"

"Harus! Kamu itu milik saya. Apapun tentang kamu itu urusan saya!"

"Dih sejak kapan?" Tanya Gabby dengan raut aneh.

"Tadi pagi"

"Lah—gelo suganmah, tadi pagikan cuma cerita tentang momen dimasa kecil pak"

"Tetap kamu milik saya! Lain kali jika ingin keluar atau makan diluar bilang. Nanti saya temani"

"Mbung ah, gue tadi keluar juga biar ngga ditemenin bapak"

Gavin mengeraskan rahangnya, mencoba menahan kesal. "Itu—kenapa kamu bisa tertabrak"

"Diserempet" Koreksi Gabby

"—Dan mana saya tau pak, saya mau nyebrang eh malah ada mobil tiba tiba datang ke arah saya dengan kecepatan tinggi"

"Kamu ngga menghindar?"

"Ya menghindar lah pak, yakali ngga. Cari mati banget" Sungutnya

Gavin menghela nafas, mengendurkan genggamannya pada Gabby dan mengelus lengan Gabby lembut.

Kini Gavin sedang melajukan mobilnya ke arah rumah sakit terdekat untuk mengobati dan memeriksa luka Gabby.

Dia juga bertanya-tanya siapa gerangan yang membuat Gabby terluka, apakah benar karna ketidaksengajaan atau memang disengaja.

Tapi Gavin berpikir ini memang sengaja, karna jika tidak sengaja pengendara itu pasti berhenti untuk bertanggung jawab atau memelankan laju kendaraannya saat melihat orang menyebrang. Gavin akan mencari tau.

To Be Continue
Chapter 34✧

—16 juni 2023.

Anti Romantic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang