18. Party

59 9 0
                                    

Yeah... Makasih ya yang udah dukung cerita ini, ku tak tau haurs bilang apa.

Jadi penasaran nggak?

Ya udah langsung aja.

********

Hari ini, adalah hari dimana party yang di adakan oleh Jenan di mulai. Ya, mungkin Jenan ingin segera merayakan kemenangan dirinya dan kantornya itu. Semua datang dengan rapi. Memakai pakaian indah dan layak sebagai seorang kantor.

Bahkan ada yang berpakaian seksi. Ya mungkin, mereka nyaman dengan pakaian itu. Maklum, namanya juga anak kantor.

“Jen, lo keren sih bisa adain party ini. Ya, sekali-kali lo nyenengin anak buah lo. Karyawan lo di sini juga butuh refreshing kan?” ledek Haikal.

Dia berbicara sambil berteriak. Karena suara di sana sangatlah keras. Musik DJ dan juga alunan musik lain, yang membuat kita tak mendengar suara apapun.

“Eh lo pikir, gue bikin mereka sengsara terus? Sampai harus ngatain gue kayak gitu?” protes Jenan tak terima dengan omongan Haikal.

“Iya—enggak. Gue kan cuma bercanda.”

Beberapa menit kemudian, Arin datang. Dengan pakaian yang sangat sederhana dan mungkin—bisa di bilang paling bagus menurut Arin sih. Tapi, kalau menurut orang-orang di sana ya—

“Loh Arin, kenapa pakaian kamu jelek gitu sih?  Lucu banget!” celetuk salah satu karyawan di sana yang sedang asik berpesta.

“Iya. Mana norak banget lagi. Lo tuh mau ke party kekinian, bukannya mau ke acara 90an,” ledeknya salah satunya lagi.

Kampungan banget kalau di bilang. Pakaian Arin memang tak semegah orang-orang di sana. Dia hanya memakai kaos biasa warna putih dan celana jeans hitam. Jadi kayak mau interview ya.

Arin jadi malu. Dia berjalan dengan tangan dan kaki yang gemetar. Tapi, dia tetap berdiri di langkahnya.

“Memangnya kenapa? Ada—yang salah sama pakaian saya? Toh, yang penting saya pakai baju kan? Daripada enggak!” bantah Arin.

Arin memang kadang bisa melawan. Dia tidak suka di tindas. Asal dia benar, dia akan lawan. Jadi, apapun yang terjadi Arin tidak mau kalah dengan omongan mereka.

“Udah, udah! Nggak usah ngeledekin dia!” cegah seseorang.

Mendengar itu, semua menoleh ke arah sumber suara. Mereka langsung diam saat tahu siapa yang berbicara itu.

“Pak Jenan?!”

“Kalian nggak usah ngeledekin dia lagi. Apapun pakaiannya, itu nggak penting. Lagian di party ini nggak ada larangan memakai pakaian apapun kan?” marah Jenan.

“Iy—iya, Pak.”

“Ya sudah, kalian lanjut saja.”

Mereka pergi meninggalkan Arin dan Jenan di sana. Sedangkan Arin mengerutkan keningnya heran dengan sikap Jenan. Dan Jenan justru melihat Arin dari atas sampai bawah seperti tatapan sinis.

“Kenapa?? Anda mau meledek saya juga? Kalau anda ingin meledek saya, kenapa anda belain saya tadi?” kesal Arin.

Jenan tersenyum tipis. “Lucu ya! Jadi kayak anak 90 an gitu. Kamu mau flashback ke jaman dulu?”

“Ih apaan sih, Pak! Saya ini niat ya buat datang ke sini dengan pakaian yang rapi. Kalau Bapak bilang gitu, berarti bapak sama aja kayak mereka!” marah Arin.

“Kok kamu ngegas sih?”

“Ya bapak nyeselin sih!”

Tuh ribut lagi kan. Emang mereka tuh jarang banget bisa akur. Sekalinya akur, pasti ada aja candaan yang bikin mereka jadi berantem.

Extraordinary Love✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang