"Edwin, apa kamu sudah tahu kalau anak kita berdua sedang berkencan?"
Malik duduk di depan kursi yang ada di ruang kerja Edwin. Edwin baru saja pulang namun ia tidak lansung pulang ke rumah—ia tahu Karina sedang berlibur di Villa, maka dari itu Edwin memilih untuk ke kantornya dan mengurus pekerjaan lain lagi.
"Malik, jadi kamu sudah tahu?"
Malik menghela napasnya—"Sudah aku bilang padamu, lebih baik mereka jangan berdekatan lagi. Apa belum cukup kemarin Navaro jadi pacar bohongan Karina?"
Edwin tampak menutup beberapa lembar dokumen di depannya dan mulai fokus dengan apa yang akan ia bicarakan dengan Malik.
"Maafkan aku. Aku hanya.... Aku tidak tahu kalau Navaro juga menyukai Karina. Aku kira.. maafkan aku, Malik," tuturnya dengan halus.
"Jadi apa yang mau kamu lakukan sekarang? Apa kamu mau memisahkan mereka? Aku harap kamu tidak berpikiran itu," lanjur Edwin penuh harap.
"Aku memberi pilihan untuk Varo. Aku tidak akan pikir panjang jika Navaro memilih ke asrama, dan aku juga tidak keberatan jika Navaro menikahi anakmu."
"Apa?! M-menikah?! Kau serius?!" Edwin tampak begitu terkejut mendengar pernyataan Malik. Malik masih mengeluarkan ekspresi tenangnya sejak tadi.
"Maaf aku hanya punya dua pilihan ini, Edwin. Aku tidak ingin Navaro melewati batas sepertiku dulu dengan Shinta."
Edwin tentu tahu bagaimana masa lalu Malik. Itu adalah masa lalu yang cukup kelam dan Edwin sendiri tahu bagaimana sulitnya Malik melewati itu semua.
"Tapi bagaimana jika Navaro memilih ke asrama? Apa kamu tega memisahkan mereka? Setidaknya kita bisa wanti-wanti agar mereka tidak berbuat melebihi batas, Malik."
Namun sepertinya Malik tetap kekeuh pada pilihannya. Pria itu menggelengkan kepalanya kemudian berkata, "Mereka harus sabar menunggu jika memang saling mencintai, Edwin."
"Huft, baiklah. Aku hanya khawatir Navaro memilih ke asrama, dan aku lebih khawatir lagi jika mereka sama-sama sakit hati karena pilihan itu."
Malik hanya terdiam mendengarnya. Ia tahu benar bahwa itu memang berat, namun itu sudah menjadi prinsip Malik sejak dulu.
"Apa tidak sebaiknya kita nikahkan saja mereka?" tanya Edwin lagi. Merasa tidak rela jika nanti Navaro memilih ke asrama.
"Kita harus menunggu keputusan Navaro."
***
"Mau melepasnya sendiri atau kulepaskan untukmu?"
Wajah Karina sontak memerah usai mendengarnya. Belum sempat gadis itu menjawab, namun Navaro sudah lebih dulu kembali menghampirinya. Napas Karina mulai memburu karena gugup setelah Navaro meraba paha mulusnya dari balik handuk putih itu.
Karina yang masih tengkurap mencoba menolehkan kepala ke belakang untuk melihat Navaro. Sepertinya ia tak ingin Navaro mendominasi. Gadis itu tampak menunggingkan pantatnya ke atas supaya Navaro merasa terangsang karenanya.
Navaro meneguk ludahnya karena merasa si 'johnny' sudah berdiri tegak seperti tiang di bawah sana. Sementara Karina terus saja menggoda Navaro dengan menungging-nunggingkan pantatnya. Karina mendengus geli saat Navaro mulai menelusupkan tangan nakalnya ke dalam handuk kemudian meremas pantat sintalnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Boy (18+)
Romance"Sshh!" desis Navaro saat merasa dua buah dada menyembul besar itu bersentuhan dengan dada bidangnya. Entah mimpi apa yang dialami oleh Navaro-anak seorang Ustadz yang dikejar-kejar oleh gadis terseksi di sekolah. Navaro harus menahan hasratnya mati...