🦋🦋🦋
Kaki mungil tanpa alas itu berlarian menghindari tetesan air hujan yang tak pernah absen setiap harinya turun membasahi Kota Bandung.
Bajunya yang tipis dengan banyak tambalan itu tak mampu menghalau suhu dingin yang menusuk sampai ke tulang. Di genggamannya ada sebuah karung usang yang sehari-hari dibawanya pergi memulung barang bekas di jalan.
Wajahnya nampak memandang lurus ke depan dimana dengan jelas dia melihat seorang anak kecil yang nampak buru-buru digendong ayahnya masuk ke dalam mobil menghindari hujan.
Anak itu tersenyum tipis kemudian menunduk menatap seekor anjing kecil yang entah darimana datangnya dan menjilati kaki telanjangnya.
"Ung? Capa puna guguk na?" Tanyanya bingung menoleh ke sembarang arah yang nampak sunyi karena derasnya hujan.
Dia duduk sendirian di halte bus yang sudah sepi. Hari pun sudah menjelang malam membuat anak itu meringis memenang perutnya yang terus berbunyi sejak tadi.
"Hali ini Kai nda dapat pa, belalti nda puna wang," lirih nya sedih.
"Kacian kakek nda mimik obat na, Kai nda puna wang beli," isaknya.
Anak itu mulai menangis sesenggukan di tengah derasnya hujan yang mampu menyamarkan suara tangis penuh kesedihan nya.
Sekitar tiga puluh menitan hujan perlahan mulai reda namun rintik-rintik kecil masih terus berjatuhan. Anak itu segera bangkit hendak pulang namun urung melihat tatapan sedih seekor anjing kecil yang sejak tadi sudah menemani nya.
Anak itu kemudian berjongkok, "Ung amu puna capa? Au ikut Kai puyang?"
Dengan langkah senang Kai membawa anjing kecil itu pulang bersamanya menuju sebuah gubuk kecil di bawah jembatan yang sangat tidak layak huni.
"Kakek Kai puyang!" seru anak itu begitu sampai di depan rumah dengan tempelan kardus-kardus itu.
Di dalam gubuk kecil itu terdapat seorang kakek tua yang sudah sepuh. Kakek Tono namanya, pria tua itu merupakan orang yang selama ini merawat Kai.
Dulu, tepatnya dua tahun yang lalu Kakek Tono menemukan seorang balita yang menangis di pintu pemakaman umum dekat gubuknya menjelang malam ketika baru pulang dari memulung.
Kakek Tono mengarahkan senter usang nya ke dalam pemakaman dan melihat dengan jelas seorang anak laki-laki yang tengah menangis ketakutan di tengah gelapnya malam."Apa dia tuyul?" kata pertama yang terlintas dipikiran kakek tua itu begitu melihat sosok balita di depannya.
Namun melihat bagaimana kaki anak itu menapak di tanah dan suara serak kehabisan suara itu membuatnya iba dan membawa anak itu pulang ke gubuk kecilnya yang tak jauh dari sana.
"Kai," gumam Kakek Tono begitu membaca ukiran kecil di gelang mewah yang dipakai anak itu.
Kakek Tono yakin jika anak didepannya bukanlah anak dari kalangan biasa-biasa saja, dilihat dari pakaian serba mahal dan betapa lembutnya kulit si kecil.
Pria itu ragu-ragu hendak membawanya ke kantor polisi, dia takut dirinya lah yang dikira menculik anak ini seperti kejadian beberapa tahun silam saat dirinya dituduh menculik anak tetangga hingga mengakibatkan dirinya diusir dan berakhir menyedihkan di gubuk tua ini. Terlebih begitu sampai di gubuk cuacanya mendadak gelap disertai hujan badai.
Pada akhirnya Kakek Tono memilih merawat Kai sendirian di gubuk kecil nya, menemani hari-hari tuanya yang sepi dengan segala kelucuan si kecil.
"Kakek, Kai minta maaf" anak itu duduk melipat kedua kakinya bersimpuh di sebelah kakek Tono yang tidur hanya beralaskan kain tipis.
"Kai nda dapat papun dali ciang, Kai nda bica belikan kakek obat na," sedihnya.
Anak itu terlonjak kaget begitu ingat sisa telur ceplok tadi pagi belum dia makan karena takut kakek nya akan kelaparan. Sepertinya ini bisa mengganjal perut tua kakeknya.
Dengan segera Kai berlari ke meja usang mengambil piring yang berisi sisa telur dan nasi yang sudah di masak kakeknya pagi-pagi dibantu Kai.
"Kakek mam telul, naci cama galam ja na? Becok Kai janji belitan ayam goleng," lirih Kai begitu sudah sampai di sebelah kakeknya.
Anak itu nampak dengan sigap membantu kakek Tono bangun dan menyuapinya makan tanpa mempedulikan perutnya yang juga sangat lapar.
"Cucu kakek makan juga, biar cepat besar," lirih Kakek Tono dengan tersengal.
Kai menggeleng, ini jatah makan kakeknya dia tak mau kakeknya sampai kelaparan dan bertambah sakit.
Air mata mengumpul di ujung mata Kakek Tono, pria tua itu tak pernah takut mati. Tapi kini dirinya sangat takut mati dan meninggalkan cucu tersayang nya seorang diri.
"Apa cucuku akan baik-baik saja tanpa ku?"
Pria tua itu merasakan ajalnya kian dekat, dirinya sudah tua dan merasakan hidupnya bisa saja berakhir malam ini.
"Wah Kelen, Kakek mam na banak, cekalang bobo na,"
"Kai au taluh piling na dulu," anak itu bergegas meletakkan kembali piring kotor itu di meja usai memberikan air pada kakek Tono dan membawakan kain perca tipis untuk anjing kecil yang setia berjaga di depan pintu gubuknya.
"Na cekalang ama amu Olen, amu bobo na pake ni na," usai menyelimuti anjing berbulu cokelat itu Kai segera berlari dan bergabung dengan kakek Tono yang sudah memejamkan matanya sejak tadi.
Kai memeluk perlahan kakek Tono kemudian mencium pipi kakek nya sebelum tertidur pulas menjemput mimpi mengabaikan perutnya yang melilit sakit.
"Celamat tidul kakek, Kai cayang kakek," bisik Kai pelan.
Nyatanya orang yang dibisiki dan dipeluk bahkan sudah tak bergerak sama sekali dengan wajah pucat dan tubuh yang mulai kaku.
TBC
Welcome Rakyat pecinta bocil Gemoy🤗🤗🥺
Sambut baby kecil kita yang bernama KAI🦋🦋
Semoga suka ya🤗 jangan lupa dukung cerita ini dan simpan di perpustakaan kalian❤️
With Luv
Taya
KAMU SEDANG MEMBACA
KAI [TERBIT]
Fanfiction[PART MASIH LENGKAP] PESAN sekarang juga ya di : @salenovel14 👉dianacheapy @chocovan95 @bukubeken @cintabukubookshop @wasurjaya.vicyshoop @rumahbukubundarasya "Kai nda punya lumah, tapi Kai anak baik nda pelnah nakal," "Tenapa meleka nda suka Kai...