Usai

617 28 2
                                    

Assalamu'alaikum
Follow dulu sebelum baca
Vote dan komen
luv u!
.
.
.
***

"Kita terlalu remuk untuk kembali dibentuk. Karena memang sudah semestinya berpisah, kita berjalan bersama tapi bukan untuk tujuan rumah yang sama."

-Adiba Marcellia Azani-

***

"Maaf ... Bisa bicara sebentar-"

Gus Ahmad.
Langkahnya terhenti mendengar ucapan dari belakangnya

"Tidak lama, saya hanya ingin memberikan ini." Katanya.

Azani membalikkan badan dan melihat Gus Ahmad menyodorkan amplop coklat kepadanya.

Dengan berat hati Azani menerima amplop itu dengan lapang apapun itu isinya nanti, "Bukanya di kamar saja ya. Maaf dan terimakasih untuk semuanya, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Gus Ahmad berlalu begitu saja, apakah ini kenyataan yang sebenarnya aku terima, Gus?

***

Kembalinya Azani ke kamar membuat  ketiga sahabatnya bingung, karena pasalnya setelah ke ndalem Azani hanya diam di kasurnya sembari menatap amplop coklat di tangannya.

"Zani ... Kamu ada masalah?" Zida memberanikan diri menghampiri Azani di ikuti Nur dan Anisa.

"Eh ... Mm gak kok, kenapa?" jawab Azani gelagapan.

"Yasudah, kalau ada masalah cerita ya siapa tahu kita bisa bantu. Kita mau ke dapur dulu, kamu mau ikut sekarang atau nyusul?" tanya Zida.

"Aku nyusul boleh ya? masih mau bersih-bersih sedikit kok," ketiganya hanya mampu mengangguk mengiyakan.

"Iya tidak apa-apa, kalau begitu kita duluan ya?" Azani pun mengangguk dan melihat ketiga sahabatnya itu keluar kamar.

Tak lama kemudian, Azani perlahan membuka amplop yang di berikan Gus Ahmad tadi.

Surat?
Tasbih dan cincin?

Azani mengernyit bingung, apakah ada suatu kesalahan disini? Azani pun tak berpikir panjang dan mulai membaca tulisan tangan Gus Ahmad tersebut.

Assalamu'alaikum ...
Azani ... Saya harap setelah kamu membaca ini tolong jangan keluarkan air matamu yang berharga itu, tetaplah tersenyum seperti sebelumnya.
Maaf ... Maaf untuk semuanya. Saya sudah mengingkari janji yang saya buat sendiri, saya sudah terlambat untuk bicara semuanya kepada Abi, Azani ... Maafkan saya ...
Kalaupun boleh jujur, saya mencintai kamu, sangat mencintai kamu. Maafkan saya yang lancang mencintai kamu dalam diam selama 3 tahun terakhir ini, maafkan saya yang lancang menyebutkan namamu dalam sholat malamku, Zani. Maafkan saya yang sudah berani masuk kedalam hati kamu dan merenggutnya paksa. Maafkan saya yang sudah mempersiapkan segalanya untuk kita tanpa ada kata 'iya' yang keluar dari mulut kamu. Maafkan saya ...
Saya begitu memaksakan takdir tentang kita, hingga Allah memberikan luka yang begitu luar biasa. Saya yang bersalah ... Saya minta maaf. Tasbih dan cincin, itu yang sengaja saya siapkan untuk kamu. Cincin untuk melamar kamu, dan tasbih yang begitu saya cintai sama halnya dengan kamu.
Meskipun akhirnya saya dengan wanita pilihan orang tua, saya tidak akan pernah membiarkan cincin untuk kamu di pakai wanita lain selain kamu. Itu milik kamu, Zani.
Untuk ini, saya akan melepaskanmu. Saya ikhlas ... Kalaupun memang kita di takdirkan untuk bersama, sejauh apapun jarak dan sehebat apapun badai yang memisahkan kita pasti takdir mempunyai banyak cara. Jika memang bukan takdir kita, semoga kamu selalu bahagia, meski tidak dengan saya, Zani. Assalamu'alaikum ...

Azani meremas surat itu dan menangis sesenggukan. Sakit, hancur lebur semuanya.

"Sesakit ini, Gus?" gumamnya.

Ia melihat tasbih mutiara dan cincin emas dengan permata berwarna putih bersih. Di dalam cincin tersebut terdapat namanya yang terukir.

Ia semakin menangis dengan keras. Seorang laki-laki yang dicintainya dalam diam ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi takdir berkata lain, cintanya hanya akan termakan waktu tanpa adanya ikatan halal yang menyatu.

"Loh ... Azani kamu kenapa?" Zida terkejut melihat Azani yang begitu berantakan.

Zida kembali niatnya untuk memanggil Azani karena begitu lama tidak ke dapur karena sudah di tunggu, tetapi di saat di depan pintu ia mendengar suara tangisan Azani dari dalam kamar. Ia pun buru-buru masuk dan melihat Azani sudah sembab.

Tanpa banyak bicara Zida hanya mampu memeluk Azani dan mengusap punggungnya untuk mencoba menenangkan.

Zida melihat kertas putih di tangan Azani, tasbih dan cincin di samping duduknya. Zida tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Beberapa menit kemudian, Azani mulai tenang. Dengan sigap, Zida mengambilkan segelas air putih di dekat kasurnya.

"Assalamu'alaikum, kalian lama bang-" Nur dan Anisa di ambang pintu terkejut luar biasa. Zida memberikan isyarat untuk masuk dan menutup pintu kamarnya.

"Azani ken-" lagi-lagi ucapan mereka terpotong karena Zida menatap mereka tajam untuk tidak bertanya lebih dulu.

"Mau minum lagi?" tanya Zida sehati-hati mungkin, Azani pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Azani masih diam, tetapi menyodorkan surat dari Gus Ahmad tadi kepada ketiga sahabatnya.

Mereka pun membacanya dan langsung bungkam. Mereka saling tatap sembari melihat kearah tasbih dan cincin yang di maksudkan dalam surat itu.

"Kamu kuat ... Masih ada laki-laki baik untuk kamu, Zani pastinya lebih baik dari Gus Ahmad." Kata Zida.

"Iya, Zani. Kamu cantik, baik, sholehah, pinter, segalanya. Kamu wanita istimewa, hanya laki-laki beruntung yang bisa mendapatkan kamu," sahut Anisa.

"Bolehkah sesakit ini?" tanya Azani dengan tatapan kosong.

"Hei ... Kemana Azani yang dulu? kamu begitu acuh dengan laki-laki tapi sekarang? Boleh sakit boleh nangis tapi jangan berlarut-larut," ucap Nur.

"Aku sudah mencintainya sejak kita bertemu, di saat semuanya sudah terlihat ternyata tidak bertepuk sebelah tangan tapi takdir berkata lain. Bagaimana aku untuk ikhlas? bagaimana aku melupakan janji yang di berikan untuknya? hatiku sakit, sakit ..." Ujar Azani dengan air mata yang sudah membanjiri kedua pipi mulusnya itu.

"Istighfar, Zani ..." Peringat Anisa.

"Allah sudah menyiapkan yang terbaik untuk kamu," ucap Zida.

"Ataukah mungkin aku terlalu mencintainya, aku terlalu mencintai ciptaannya tanpa ingat pemiliknya hingga Allah memberikan lukanya yang begitu luar biasa sakitnya? aku terlalu berharap, aku tergila-gila dengan orang yang belum tentu milikku." Sambung Azani.

Ketiga sahabatnya tidak ada yang mampu menjawabnya, mereka hanya diam dan memeluk Azani menguatkan hatinya yang sakit.

"Sudah ... Sudah waktunya ikhlas, Zani."

Bismillah ... Ikhlas melepasmu, Gus.

***

Kediri, 14 Agustus 2023

Hai-hai sedih banget deh jadi Azani, Gus Ahmad tega banget! Gus Ahmad harus di beri pelajaran ga si? kasihan Azani-nya.
Pantengin terus yuk kelanjutan ceritanya
Tunggu chapter selanjutnya
Jangan lupa follow, komen dan vote
luv u!

Amor [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang