33. Nostalgia Zaman Sekolah

280 36 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.












Tiar sedikit risi dengan tatapan remaja yang ada di sekitar mereka, ia akhirnya menuruti permintaan suaminya yang ingin makan di kantin sekolah lama mereka. Bisikan-bisikan di bangku sebelahnya mampu Tiar dengar, ia menoleh sejenak ke arah mereka yang sedang asyik mengobrol.

“Kamu tidak makan?”

Tiar menoleh pada Jake lalu menyantap rawon yang dipesan tadi. Jake membalik sendok di atas piring bertepatan dengan dua orang gadis yang tiba-tiba saja datang dan duduk di depan mereka.

“Kita numpang duduk di sini ya, Kak.”

“Oh, silahkan.” sahut Tiar kikuk. Ia memerhatikan kedua gadis itu yang sedang menatap Jake sambil menyantap makanannya.

“Kak, temannya dari luar negeri ya?” ucap gadis yang ada di depan Tiar, tentu saja mendengar itu Tiar terkejut. “Teman?”

“Iya ... kita boleh kenalan, kan?”

Tiar menoleh lagi pada Jake. “Tidak mau kenalan?”

Jake yang sedari tadi diam sambil menyedot es teh manis di meja seketika menoleh pada istrinya dengan alis terangkat. “You wanna sharing your husband?

Tiar tersenyum lebar saat kejailannya diketahui Jake, namun berbeda dengan kedua gadis itu yang merasa terkejut dengan pernyataan Jake barusan.

Husband? Kalian, suami istri?” tanya gadis yang duduk di depan Jake.

“Ya, dia istri saya.” sahut Jake santai.

“Maaf ya, Kak. Aku kira temannya tadi,”

“Iya, tidak masalah.”

Setelah itu, kedua gadis tadi berpamitan dan pergi dari hadapan Tiar dan Jake.

“Aku tahu kamu mau mengerjai mereka, tapi aku tidak suka cara kamu seperti tadi.” tegur Jake dengan nada lembut, Tiar langsung menggenggam tangan Jake yang sedang bertumpu di bangku.

“Maaf Jake, aku tidak tahu kalau kamu tidak suka. Aku juga tidak ada maksud apa pun,”

“Sekarang habiskan makanannya lalu pulang,”

“Tidak mau berkeliling sebentar? Aku lihat beberapa dari bangunannya ada yang berubah,”

“Hanya tiga puluh menit, ya? Pekerjaanku masih banyak,”

Tiar mendadak bersemangat dan segera menyantap makanannya, setelah tandas Jake membuka botol air mineral untuk Tiar.

Keduanya meninggalkan kantin lalu berjalan menyusuri koridor lantai dasar.

“Seingatku dulu ruang kepala sekolah di bawah, kan?” kata Jake saat membaca papan nama yang menempel di atas pintu bertuliskan ‘tata usaha'.

“Sepertinya pindah ke sana,” sahut Tiar, ia menunjuk ke sebuah ruangan yang ada di seberang lapangan.

“Masa? Kamu bisa baca papan yang di atas pintu itu?” Tiar menggeleng menjawab pertanyaan suaminya. “Pot tanaman itu identik sama ruang kepala sekolah, kamu ingat tidak?”

“Tidak, aku jarang masuk ke ruang kepala sekolah. Kecuali saat kasus pengeroyokan di belakang perpustakaan waktu itu,”

Mereka kembali menyusuri koridor hingga sampai di ujung, Jake berhenti melangkah dan melihat ke pintu besar yang tertutup.

“Ini masih aula, kan?” tanya Jake.

“Kalau di gembok berarti masih jadi aula,”

“Dan di ujung sana masih ruang guru,” Jake menunjuk ke arah papan nama yang menggantung di atas.

“Benar, masih di sana ternyata. Kata murid angkatan kita, dulu bekas kuburan.” sahut Tiar sedikit bergurau.

“Jangan menakutiku, babe.” Jake berdecak sebal, saat sekolah dulu Tiar dan teman-temannya suka sekali bercerita tentang hantu atau ilmu hitam hingga membuat Jake sering kali terbayang wujudnya.

“Masih saja takut hantu, padahal mereka—”

Don’t said anything,” kesal Jake dan kembali berdecak sebal.

“Iya, ya ampun.” Tiar terkekeh kemudian, keduanya kembali berjalan hingga sampai di depan ruang guru yang sebelah pintunya tertutup rapat.

“Mau masuk?” tanya Tiar dan langsung dijawab Jake. “Untuk apa? Memangnya gurunya masih sama?”

“Maaf Mas, Mbak. Ada keperluan apa?”

Suara seorang perempuan terdengar dari belakang mereka, baik Jake dan Tiar refleks menoleh ke sumber suara.

“Bu Imah, ya? Wali kelas Tiar dulu?” Tiar berusaha menebak wanita itu, wajahnya terasa tidak asing untuk Tiar.

“Benar, saya Imah.” Wanita itu menatap Tiar tak percaya, pandangannya seakan sedang memindai barkode kemasan makanan. “Ini Tiar? Yang sering ikut turnamen voli sama seni bela diri?”

“Iya, Bu. Ini Jake, ibu ingat juga tidak?”

Imah menatap Jake yang lebih tinggi darinya. “Murid pindahan dari luar negeri itu, ya? Yang jadi incaran siswi angkatan kamu?”

Jake merasa malu di bilang seperti itu dan terpaksa mengangguk. “Iya, Bu Imah. Saya Jake Johanson.”

“Kalian apa kabar? Kamu makin tinggi saja, Jake. Kamu juga Tiar, kenapa berhenti tumbuh?”

“Bu kenapa selalu bilang itu, sih?” rajuk Tiar dan tanpa sengaja mengusap perutnya yang membuncit.

“Benar, kan? Tunggu, kamu ... sedang hamil? Kalian menikah?” tebak Imah sambil menunjuk Jake dan Tiar bergantian.

Jake dengan senyum bangga merangkul pinggang Tiar. “Iya, Bu. Tiar sekarang jadi istri dan calon ibu dari anak saya,”

“Ya ampun! Ibu sudah menduga, pasti kalian akan jadi pasangan suatu saat nanti. Kalian sering ke mana-mana bersama bukan?”

“Lebih tepatnya Jake yang suka ikuti Tiar, Bu.”

“Oh, ya. Kalian sudah tahu kalau sekolah akan mengadakan reuni akbar sepuluh angkatan? Angkatan kalian juga termasuk,”

“Kami tidak tahu, Bu Imah.” ucap Jake.

“Pihak sekolah sudah membuat undangannya di web sekolah kalian bisa langsung mengunduh jika mau datang, tapi Ibu berharap kalian datang.”

“Kalau begitu nanti Tiar lihat, mungkin akan kami diskusikan dulu. Takutnya nanti Jake ada dinas luar kota,”

“Ya sudah, kalau begitu Ibu mau lanjut mengajar dulu ya. Kalau mau berkeliling silahkan,”

Sepertinya bu Imah, kedua pasangan itu berbalik arah ke arah aula.

“Kamu mau datang, babe?” tanya Tiar.

“Harusnya aku yang tanya begitu, aku takut kamu kelelahan. Kalau aku bisa atur jadwal nanti jika kamu mau datang,” sahut Jake.

Tanpa sadar mereka berjalan hingga ke bagian lapangan belakang yang tampaknya sudah tidak di pakai.

“Kamu ingat tidak dengan tempat ini?”

Tiar mendongak untuk melihat Jake. “Lapangan belakang, tapi sepertinya sudah tidak dipakai.”

“Bukan, babe. Kita pernah kemari saat wisuda,”

Tia mengingatnya sejenak dan beberapa saat terlintas beberapa kejadian yang melintas dalam kepalanya.

“Kamu, pernah menyatakan perasaan sama aku tapi aku tolak.” ucap Tiar sedikit pelan. Jake melepas rangkulannya di pinggang Tiar lalu menautkan jemarinya.

“Dan juga, tempat ini menjadi saksi saat aku menyerahkan ciuman pertamaku.” sambung Jake tersenyum lembut pada istrinya.

Wajah Tiar merona lalu menepuk lengan suaminya. “Masih ingat saja, aku bahkan sudah lupa.”

“Kamu tahu, setelah hari itu ... aku bersungguh-sungguh untuk menjadi laki-laki yang kamu cintai setelah kita bertemu lagi suatu hari nanti. Aku terus mengintaimu dari jauh tanpa membuatmu merasa terusik, aku hanya ingin tahu bahwa kamu baik-baik saja tanpa ada aku.” Jake menarik napasnya sejenak.

“Tapi ternyata semua tidak berjalan sesuai harapanku, setelah bertemu ... aku justru malah merusakmu.” Jake menoleh dengan tatapan nanar pada Tiar.

“Sudahlah, jangan merasa bersalah. Yang terpenting sekarang keadaannya sudah tidak seperti waktu itu, aku berharap kita selalu bersama apapun keadaannya.”

Jake mengecup punggung tangan istrinya yang sedang ia genggam. “Itu pasti, babe. Aku sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk selalu menjaga dan mencintaimu,”




















TBC




Holaaa..
Selamat hari jadi yang ke 78 Indonesia
🥳🥳🥳🥳🥳

Ada yang ikut lomba?

Mau nambah part gk?

Only Love You [Jake from Enhypen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang