41

3.4K 335 79
                                    

Cerita hanya fiktif, berdasarkan imajinasi, jika ada kesamaan tempat, nama, dan kejadian, hanya kebetulan semata.

•-•

  Derit pintu kayu tua membuat pemuda yang bersandar di dinding dengan wajah pucat menoleh perlahan. Yang dulu menjadi temannya berjalan dengan langkah pelan, ada handpone tipis yang menempel di telinga, suaranya meninggi dengan alis berkerut.

  Terlalu berisik, makiannya bertabrakan dengan suara air.

  Tunggu, suara air?

  Rintik hujan yang menyerbu atap rumah mengalir hingga ke tanah dan menghilang, tapi suara itu bukan dari mereka. Sesuatu yang terasa jauh, tapi juga dekat, menabrak sesuatu dengan keras, pecah, dan deburannya terasa di dada.

  Apa itu?

  Radit mengusap wajahnya yang basah karena air hujan, mendudukkan dirinya di kursi goyang, semakin lama dia mendengar ucapan dari sebrang telfon, semakin dalam terasa amarahnya ingin melompat keluar.

  "Mesih sanggup?" Balasnya setelah sekian lama diam.

  Orang di sebrang terdiam. Bukan itu yang ingin dia dengar sebagai balasan, informasi yang dia berikan lebih pantas untuk di bahas.

  Radit berdehem mendengar jawaban, "gak masalah siapapun itu, dia juga gak kembali dengan keadaan sehat. Yang terpenting, Lo pergi dari sana."

  Wajahnya semakin berkerut, sesekali berdecak kesal saat otaknya berputar memikirkan jalan lain. Prabu menduga, sesuatu terjadi di luar sana, mungkin, ayah sudah datang?

  Tapi... Bukan.

  "Penganggu," rutuknya dengan rahang menggeras.

  Melihat wajah pemuda itu, Prabu merasa sakit di dadanya, dia teringat beberapa kenangan singkat yang mereka berdua lakukan. Ngobrol santai di dalam mobil saat perjalanan pulang dari sekolah, jadi guru les untuk anak anak kecil, main layangan sampai lupa waktu, dan rasa terbuka yang jarang Prabu dapatkan saat berbicara dengan teman temannya.

  Miris.

   "Setelah Lo balas dendam sama Raden, apa selanjutnya? Lo sanggup tanggung jawab dengan semua yang Lo buat?"

  Radit menoleh, Prabu langsung melanjutkan, "dan kita gak temenan lagi?"

  Radit menarik kedua ujung bibirnya ke atas, "mungkin, gue gak mikir sampai sana."

  Selesai sudah. Melihat Radit melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun membuat Prabu yakin, dia hanya memikirkan tujuannya dan tidak pernah peduli pada pertemanan mereka. Atau mungkin saja, hanya Prabu yang menganggap mereka adalah teman?

____

  Motor merah terparkir di sebelah pohon rindang yang gelap, dengan cakrok besar sebagai penghias. Raden mengusap wajahnya dengan kasar, kulitnya dingin seperti di siram air es, tidak peduli sesak di dada membuat nafasnya memberat, Raden meneliti rumah panggung besar yang tidak memiliki lampu di depannya ini.

  Kapan, dan dimana, ya?

  Teringat sesuatu, Raden memeriksa seluruh tubuhnya yang basah kuyup, hingga menemukan handpone yang di simpan dalam kantong baju, mati total, mungkin sudah rusak.

  Pintu terbuka karena tendangan, mata tajam bagai elang menatap lurus kegelapan di depannya. Gejolak aneh berderu deru di dalam hati, firasatnya menyuruh berbalik dan pergi, tapi hatinya menekan untuk tetap mencari. Raden tidak percaya lagi dengan penglihatannya, dengan segala suara yang berteriak di kepala. Dia telah hancur karena itu. Telah buta, cacat, bahkan gila.

LILBROTHER [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang