Sepasang tangan merangkak keluar, mencengkram erat bibir tebing Celah Mrapen. Anatari menarik tubuhnya ke atas. Berguling di atas tanah, menjauhi bibir tebing.
Napasnya pendek dan cepat. Berulang kali dia menelan, meski tahu mulutnya kering kerontang. Penampilannya lusuh dan kotor. Rambutnya yang panjang kusut tidak keruan.
Anatari telentang menatap bumantara biru cerah di atasnya. Perasaan sureal yang melanda membuat dirinya tak mampu berkata-kata. Tertawa bahagia. Tak lama, terisak berlinang air mata.
Seseorang mendekat dalam langkah ringan dan tak bersuara, meninggalkan jejak telapak kaki di atas pasir hitam yang bahkan tidak dipijaknya sama sekali.
Pria muda itu berjongkok di samping Anatari. "Akhirnya kau kembali, Anatari Lingga."
Anatari menoleh dengan mata sembab. "Siapa kau?"
"Aku?" Pria itu tersenyum. Sebuah senyum miring yang terkesan sinis dan arogan. Sangat memikat. "Aku kenalan ibumu, Permaisuri Candra Kirana. Kau bisa memanggilku, Kala."
***
Selang dua tahun kemudian...Guntur bergemuruh di bumantara. Kilat menjalar di balik awan kelabu tebal yang sesekali meneteskan air hujan yang masih tertahan.
Para petani segera keluar dari sawah yang sedang dibajak. Para pedagang mempercepat transaksi jual beli. Para tukang kayu meninggalkan perkakasnya. Para penduduk berlomba-lomba mengakhiri kegiatan mereka, apapun itu. Berlarian mencari tempat bernaung dari derasnya guyuran hujan badai dan petir.
Seorang pria tua yang semua janggutnya sudah memutih bersama cucu perempuannya yang telah cukup umur, melayani beberapa orang yang berteduh di kedai kecilnya, termasuk seorang petani yang membawa serta kedua kerbaunya yang dibiarkan di bawah guyuran hujan.
Pria tua itu menyajikan teh dan kue sederhana yang berisi unti kelapa. Mereka yang berteduh di sana, mengitari meja, mengambil satu bagi setiap orang.
"Sudah beberapa tahun ini hujan selalu disertai badai. Membuat tanggul di atas bukit sering kali bedah. Saya takut terancam gagal panen lagi karena padi rusak dilibas banjir bandang," curhat pilu si petani.
"Jembatan kayu juga belum selesai diperbaiki, kalau sampai banjir lagi, kita akan benar-benar terpisah dari desa terdekat. Panen gagal, juga tidak bisa beli beras dari desa tetangga. Apa mau dikata kalau akhirnya cuma makan ketela," imbuh si tukang kayu.
"Hidup sudah susah, ditambah lagi musibah. Ya sudah, makin nelangsa," timpal seorang ibu yang menggendong balita perempuan.
"Hujan badai yang terjadi bukan tanpa sebab. Semua ini karena kekisruhan yang melanda Javacekwara. Di mana para pemberontak melengserkan Yuwaraja yang sah dan menjadikannya sebagai seorang pembunuh dari wanita yang dicintainya. Semua rakyat Javacekwara menangisi kepergian Yuwaraja mereka. Kejadian itu terjadi tepat di awal musim penghujan. Sejak saat itu hujan badai dan petir selalu melanda di tahun-tahun berikutnya. Sebab itulah semua kesusahan kita di musim penghujan berasal dari kesedihan dan murka Yuwaraja Javacekwara yang telah kehilangan hatinya," dongeng si pria tua.
"Bukankah wanita yang dicintainya itu adalah Anatari Lingga yang menjadi gembong Perewa Bertopeng?" tanya cucu si pria tua.
"Dan juga seorang yang tidak punya hati. Karena telah menjatuhkan hukuman yang mengerikan kepada Kepala Pengawalnya di hadapan putri kandungnya," tambah si tukang kayu.
"Hukuman apa yang dijatuhkannya?" tanya seorang pemuda yang duduk beramai-ramai bersama teman sebayanya di atas bale-bale bambu sederhana.
"Menjadikan tubuh Lembu Jalanatra menjadi enam bagian," jawab si tukang kayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy🍃Terimakasih WattpadFantasiID yang telah memilih PTDBJ masuk ke dalam Reading List January 2024🍃 🍃🍃🍃 Tujuh tahun telah berlalu, tetapi rumor tentang Anatari dan Abinawa masih saja berkembang. Anatari bangkit dari kematian untuk menjalankan kemb...