Abinawa merenung di Pendopo Kesunyian. Memikirkan rencananya sendiri untuk menyelamatkan Anatari.
"Gusti, bisakah hamba keluar?" tanya siluman harimau.
Abinawa berkonsentrasi, dia memegang dadanya, lantas menariknya. Seberkas sinar keemasan mengular, membentuk sosok siluman harimau yang duduk di samping Abinawa.
"Gusti sedang memikirkan rencana yang akan Anatari lakukan?" tanya siluman harimau.
"Aku sudah bisa menebak rencananya. Aku justru sedang memikirkan bagaimana cara menggagalkannya," jawab Abinawa.
"Mengapa Anda ingin menggagalkannya?" tanya siluman harimau.
"Apa kau lupa bahwa aku sudah terkena sihir menular? Aku tidak bisa lagi menyembunyikan keadaanku yang lemah. Energi gelap itu terus menggerogoti energi intiku. Apa kau berpura-pura tidak merasakannya? Hidupku tidak akan lama lagi. Aku ingin melindungi Anatari untuk terakhir kalinya, sebelum aku mati," tutur Abinawa.
"Tentu saja hamba merasakannya. Hamba hanya cemas Anda akan terlibat pertarungan yang menguras energi inti. Kalau itu sampai terjadi, maka siapapun tidak akan dapat menyelamatkan Anda lagi, termasuk hamba," kata siluman harimau.
"Sayangnya, besok aku harus berjuang dengan kemampuan maksimal. Bantu aku mengumpulkan pasukan siluman," perintah Abinawa.
"Hamba akan pergi melaksanakan perintah. Tapi, berjanjilah untuk tidak mengerahkan energi inti secara tiba-tiba. Hal itu akan memancing energi gelap bertindak secara agresif. Jangan sampai Anda sekarat sebelum pertarungan dimulai." Siluman harimau memperingatkan dengan sungguh-sungguh.
"Aku akan melakukannya. Bertindak sebagai seorang pesakitan." Abinawa menyalang menatap Bumantara.
"Anatari sedang menuju kemari, hamba pergi sekarang," kata siluman harimau.
"Pergilah."
Abinawa duduk di dekat bibir tebing. Dia menutupi tubuh bagian atasnya yang mulai dihiasi memar ungu menggunakan selendang katun. Bahkan kedua tangannya disembunyikan di dalam selendang. Tanda Sihir menular itu muncul dengan segera setelah Abinawa terluka di pertarungan terakhirnya di Bhumi Javacekwara.
"Abinawa," panggil Anatari.
"Akhirnya kau menemukanku."
"Bisakah kita bicara?" tanya Anatari.
"Bisakah kau duduk lebih dulu?" Abinawa menanggapi dengan pertanyaan.
Anatari duduk di dekat Abinawa. Menatap pria itu dan kehilangan kata-katanya. Abinawa menoleh pada Anatari.
"Bukankah kau ingin membicarakan sesuatu denganku?" tanya Abinawa.
Anatari mengangguk, lantas berkata, "Entah mengapa dengan hanya melihatmu, rasanya ... aku tidak membutuhkan kata apapun lagi."
Abinawa menyeringai puas. "Katakan saja kau merindukanku dan hanya ingin melihatku."
Anatari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kau yang mengatakannya, bukan aku."
"Kalau begitu jangan mengatakan apa-apa lagi, karena aku juga tidak sedang ingin menjawab pertanyaan apapun." Abinawa menatap Anatari dengan lembut. Sebuah tatapan yang menyiratkan rasa hormat, kekaguman, dan pemujaan. Pria itu benar-benar jatuh cinta. Abinawa menyandarkan kepalanya ke bahu perempuan itu. "Bisakah kau memelukku? Aku ingin tetap seperti ini hingga fajar."
Kedua tangan Anatari melingkari bahu Abinawa. "Sekali aku memelukmu, tak akan pernah kulepas lagi."
"Kau harus menepati janjimu."
"Aku tidak ingin mengingkarinya."
"Aku menyukainya. Merasa sedikit manja pada orang yang kucintai."
Anatari memindahkan kepala Abinawa ke dadanya, memeluknya lebih erat. Perasaan perempuan itu bercampur aduk. Senang, sedih, cemas, dan takut. Anatari memang takut saat membayangkan dirinya akan berpisah dengan Abinawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)
Fantasía🍃Terimakasih WattpadFantasiID yang telah memilih PTDBJ masuk ke dalam Reading List January 2024🍃 🍃🍃🍃 Tujuh tahun telah berlalu, tetapi rumor tentang Anatari dan Abinawa masih saja berkembang. Anatari bangkit dari kematian untuk menjalankan kemb...