Chapter 13. Bhumi Acarya (5)

45 9 0
                                    

Anatari dan Abinawa memasuki bangunan pendopo kecil di halaman belakang di arah selatan kedaton. Tempatnya sedikit terpencil, berada di sebelah pohon beringin. Dua prajurit yang salah satunya memakai pakaian Abinawa, tergeletak tak sadarkan diri di lantai kayu bangunan berbentuk bundar.

"Bisakah Gusti Kangjeng Ratu Anatari membangunkan mereka?" pinta Raja Kumara.

Anatari beringsut mendekati si prajurit. Tangannya mengusap wajah keduanya. Tak lama, prajurit itu siuman dalam keadaan linglung.

"Gusti Prabu." Keduanya serempak memberi hormat begitu melihat sosok Raja Kumara.

Raja Kumara mengangguk pada Abinawa. "Kalian berdua ikutlah bersama Guru Abinawa."

"Sendiko dawuh."

Satu prajurit sempat terkejut melihat penampilan Abinawa, lantas menilik penampilannya sendiri sambil terus membuntuti pria asing di depannya. Temannya ikut memperhatikan, sama bingungnya.

Raja Kumara mempersilakan Anatari duduk di bangku berbentuk bundar di tengah ruangan. Seorang kalawija menghampiri, menuangkan teh hangat untuk keduanya, lalu undur diri.

"Hanya kita yang tertinggal. Bisakah Gusti Kangjeng Ratu Anatari lebih terbuka padaku?" Raja Kumara bertutur tenang. Tak ada kemarahan, kekecewaan, ataupun rasa sungkan yang terdengar dalam intonasi suaranya.

"Terbuka mengenai apa?" tanya Anatari, waspada.

"Mengenai tujuan kedatangan Anda kemari. Dan juga perewa bertopeng yang Anda perintahkan untuk memata-matai."

Anatari menelan rasa terkejutnya. "Jadi, Paduka sudah mengetahuinya."

Raja Kumara tersenyum, menanggapi dengan anggukan sopan.

Anatari menghela napas pendek. "Pantas saja hanya satu dari mereka yang berhasil kembali."

"Mereka menerobos masuk ruang kitab dalam waktu hampir bersamaan, membuat Resi Chhaya terbangun dari tidur panjangnya. Reaksinya saat itu sama persis dengan yang Anda dan Abinawa alami," ungkap Raja Kumara. "Aku terpaksa menyisakan satu sebagai umpan pancingan untuk membawa Anda masuk ke dalam perangkap."

Anatari tersenyum pahit. Dia menyesali dirinya yang masih saja bodoh, masuk ke dalam perangkap 'musuh' tanpa disadari.

"Ternyata Anda tidak bisa dipandang remeh," ujar Anatari.

"Bukan aku yang merencanakan hal ini. Aku hanya menyetujui untuk bekerja sama." Raja Kumara menyesap tehnya, mempersilakan Anatari melakukan hal yang sama. "Bagaimana? Apa sekarang Anda bisa mempercayaiku?"

Anatari menyimpan cangkirnya, lantas tersenyum. "Abinawa yang telah merencanakannya."

Raja Kumara tersenyum karena Anatari bisa menebaknya dengan benar. "Abinawa, tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan kedaton yang penuh intrik. Terlebih dengan Mahesa. Aku bisa memahaminya. Dia berusaha untuk melindungi dirinya dan orang-orang di sekitarnya dari hal-hal yang dapat merugikan mereka. Sejak kecil, dia memang penuh tipu muslihat. Aku dan Sagara sering menjadi korbannya. Tapi, kini aku mengerti bahwa tujannya bukan untuk menyakiti. Mungkin seperti itulah caranya melindungi orang yang dia kasihi."

Anatari terdiam beberapa lama. "Aku ingin menyelamatkan Abinawa."

Manik Raja Kumara membulat. Dia mendengarkan.

"Aku tahu dia telah memberikan nyawanya sendiri sebagai ganti nyawaku. Aku tidak pernah mengharapkan hal itu. Aku juga menyetujuinya bukan karena tidak berbelas kasih padanya. Semua yang aku lakukan adalah untuk menyelamatkannya," jujur Anatari.

"Ada cara untuk menyelamatkannya?"

Anatari mendongak. Dia sedikit terkejut sebab Raja Kumara terdengar bersemangat.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang