Chapter 42. Pertarungan Terakhir (3)

56 8 0
                                    

Karunasankara tersuruk-suruk mengambil langkah ke arah Anatari yang sedang mengerahkan energi spiritualnya ke kedua tangan. Dia memegang pergelangan tangan cucu keponakannya.

"Biar aku saja yang melakukannya," kata Karunasankara.

"Api merah yang mereka gunakan berasal dari Celah Mrapen. Tidak bisa memakai cara biasa untuk memadamkannya." Anatari mengalihkan pandangan, tak mampu menatap mata tua Karunasankara. "Aku yang telah membawa malapetaka ini. Biar aku yang mengakhiri dan menanggung semua dosanya."

"Dunia ini lebih membutuhkan kaum muda dibandingkan pria tua yang tidak berguna seperti diriku." Karunasankara menatap miris keadaan kuthanagara Girilaya yang berubah menjadi kolam api. Teriakan dan tangisan terdengar dari segala arah. "Di usiamu yang masih muda wajar bila melakukan beberapa kesalahan. Sekaranglah waktunya pria tua yang telah banyak makan asam garam kehidupan ini untuk membantumu membereskan semua masalah yang terjadi."

"Kakek—"

Karunasankara mengangkat tangannya. "Jangan menghalangi keinginan seseorang yang akan mati." Karunasankara membangkitkan sisa energi spiritualnya. Gelombang energi spiritualnya menghempas udara bagai banjir bandang. Pria tua itu menoleh ke sisi kirinya, merasakan tangan Anatari di bahunya.

"Kau memang bukan pendengar yang baik," sindir Karunasankara.

"Sebaiknya tidak menghalangi orang yang memiliki tekad kuat," balas Anatari.

Senyuman mengembang di bibir keriput Karunasankara. "Kau telah berubah, Cucuku."

Anatari menyalurkan energi spiritualnya melalui Karunasankara, memberikan tambahan kekuatan lebih pada energi spiritual kakeknya.

Pasukan Girilaya yang telah tersihir bertumbangan diterjang gelombang energi spiritual. Mereka yang memiliki ilmu kanuragan lebih tinggi, tergeletak tidak sadarkan diri. Sedangkan bagi prajurit biasa, serangan itu berakibat fatal dan membinasakan.

Para penduduk kuthanagara berlarian menyelamatkan diri ke tempat-tempat terbuka, menghindari lidah api yang menjulur hendak menjangkau mereka.

Karunasankara terjatuh lemas ke tanah setelah menghabiskan seluruh cakranya.

"Sagara," panggil Anatari.

Sagara meraih tubuh Karunasankara. "Hamba akan menjaganya."

Anatari mengambil alih. Topeng putih kembali muncul menutupi wajahnya. Dia mengucap mantra seraya melakukan gerakan tangan tertentu. Api yang melahap wilayah kuthanagara berputar-putar, saling mendekat, dan menyatu. Itu bukanlah api biasa. Anatari menyadari api Celah Mrapen milik Banaspati dari warnanya yang hampir semerah darah dengan warna jingga yang samar. Api itu tidak bisa ditangani dengan cara biasa. Banaspati sungguh bertekad menghancurkan Anatari yang berkhianat. Anatari mengulurkan tangannya, api itu membentuk tornado yang bergerak terbalik. Naik ke telapak tangan Anatari.

Anatari tersentak dan meringis, merasakan tangan kanannya memerah, panas, dan perih. Dia sudah tidak bisa mundur dari keputusannya.

Anatari mengeratkan gigi, menahan diri untuk tidak meneriakkan segala rasa sakitnya. Dia rela mengorbankan nyawa demi menyelamatkan tanah kelahirannya, menebus dosa pada penduduk Girilaya yang telah Anatari eksekusi anggota keluarganya. Dia tidak akan mengeluh menanggung penderitaan ini, ikut merasakan sakit yang selama ini ditanggung oleh mereka yang tersiksa akibat perbuatan dirinya. Memang sesuatu yang layak baginya. Termasuk dosanya pada Jiyem dan Liyem.

Tangan Anatari mulai melepuh. Tubuhnya gemetar menahan nyeri. Dia tidak boleh menangis. Bahkan tidak berhak sama sekali.

"Hentikan Yang Mulia Ratu! Anda hanya menyakiti diri sendiri!" seru Sagara.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang