Chapter 35. Bhumi Javacekwara (2)

52 9 0
                                    

"Dengar, aku tidak bisa menemanimu mencari keberadaan Biyungmu. Karena aku punya urusan sendiri yang harus segera aku selesaikan. Aku akan menitipkanmu pada seorang yang kukenal. Dia pasti bersedia menemanimu mencari keberadaan Biyungmu. Kau juga tidak perlu khawatir dengan keselamatanmu. Dia seorang kesatria." Anatari membalikkan badannya. "Setuju?"

Anatari tertohok. Dia tidak mendapati keberadaan Ranubaya di belakangnya ataupun di tengah-tengah keramaian. Dia mencari ke sekelilingnya dengan panik. Berlari-lari kecil di antara keramaian para pengunjung pasar.

Jantungnya berdegup. Dia merasa bersalah sebab tidak hati-hati menjaga anak itu. Jiera pasti akan menaruh dendam kesumat padanya. Sagara juga akan berbalik membencinya. Lembu Jalanatra tentu akan kecewa besar padanya yang tidak menepati janji.

Ditengah kekalutan yang melanda dirinya, Anatari tidak menyadari seseorang yang memakai topi caping yang dikelilingi kain putih, mendekat dari arah belakangnya. Anatari berdiri di tengah keramaian, merasa putus asa. Orang itu menggenggam tangan Anatari, menariknya menjauh dari hiruk pikuk. Anatari tersentak, sempat ingin memberontak. Namun, dia memilih diam sebab merasakan sesuatu yang familiar telah menurunkan kadar kecemasannya.

Orang itu membawa Anatari jauh dari keramaian. Dia membuka topi capingnya, membuat senyum Anatari mengembang sempurna. Abinawa menarik Anatari ke dalam dekapannya.

"Aku mencemaskanmu. Kudengar dari Paman Lembu bahwa Mahesa ingin menikahimu. Aku tidak memberimu izin meninggalkanku. Kau mendengarkanku, Anatari?"

"Mm. Aku tidak berniat untuk meninggalkanmu, Abinawa. Tidak pernah."

Anatari menarik dirinya, menatap lekat wajah Abinawa. Kakinya berjinjit agar dapat menjangkau wajah pria jangkung itu.

"Kangmas ...."

Anatari dan Abinawa berpaling seketika pada Taruna.

Taruna tersenyum canggung. "Maaf."

"Ada apa?" tanya Abinawa.

"Seseorang ingin menemui Kangmas di kedai yang biasa."

"Baiklah." Abinawa menoleh pada Anatari. "Ayo!"

Abinawa memakai kembali topi capingnya. Ketiganya menyusuri jalur setapak di pinggiran pasar. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah kedai kecil yang letaknya terpencil. Sedikit orang yang berlalu lalang di sekitarannya.

Kedai itu adalah bangunan bambu yang berdinding bilik. Serambinya dipenuhi tandan pisang yang masih mentah. Pisang yang sudah matang digantung di bagian atas. Anatari yang pertama memasuki tempat itu disusul Abinawa dan Taruna yang waspada.

Anatari dihadapkan pada sebuah ruangan yang tidak terlalu besar yang dijejali tandan-tandan pisang mentah dan buah kelapa yang sepertinya belum lama dipetik sebab kulitnya masih nampak hijau segar.

Seorang pria yang rambutnya telah beruban dan kulitnya berkeriput menghampiri dengan tertatih. Dia berdiri di depan Abinawa. Maniknya menatap nanar. Garis-garis wajahnya menyiratkan kepedihan yang tak berkesudahan. Tubuh kurus dan rapuhnya ditopang tongkat kayu sonokembang yang permukaannya masih kasar. Sinjang katun raminya telah lusuh dan usang. Kakek itu gemetaran saat hendak memberikan hormatnya.

Abinawa memegang lengan si kakek. "Tidak perlu. Meski Aki tahu bahwa hal ini sangat berbahaya, tapi Aki tetap bersedia membantu kami. Jasa Aki tak terukur. Kami, sangat menghargainya."

Anatari mengamati wajah si kakek. Tidak salah lagi. Itu adalah si pedagang tua yang ikut membela Abinawa dulu kala.

Pria tua itu bersikeras berlutut, memberikan hormat tertingginya. Abinawa mengambil langkah mundur. "Tolonglah kami, Yuwaraja Abinawa. Bebaskan kami dari semua penderitaan ini. Berilah keadilan atas kematian istri hamba. Bebaskan kami dari segala kesusahan ini, Yuwaraja Abinawa."

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang