Chapter 2. Bhumi Girilaya (2)

99 17 0
                                    

Anatari berdiri di bibir jurang Celah Mrapen. Hawa panas menguar dari bawah sana. Seorang pria memanggil namanya dari dasar kegelapan.

"Siapa? Siapa yang memanggilku?"

"Anatari."

Anatari menoleh ke balik bahunya. "Abinawa."

"Ini hadiah pernikahan kita." Abinawa mendorong Anatari jatuh ke Celah Mrapen.

Anatari menjerit. Dia berpegangan pada tepian babragan. Matanya membuka. Napasnya memburu. Jantungnya bertalu. Peluh membasahi keningnya. Mimpi buruk itu selalu dikirimkan Banaspati sejak dirinya masuk ke Celah Mrapen. Menghantui sepanjang tidur malamnya yang tak pernah lenyak.

"Dia benar-benar tahu bagaimana cara menyiksaku."

Anatari mengamati ruang tidur yang telah lama ditinggalkannya. Ruang tidur ini tidak banyak berubah, kecuali adanya penambahan pajangan keramik cantik dan pajangan bunga-bunga mawar berlapis emas. Tempat tidurnya dihiasi kelambu berwarna merah dan krem. Sulaman-sulaman bunga mawar dari perpaduan benang emas dan merah menghiasi kain alas tidur dan selimut sutra yang lembut.

Anatari menatap satu celupak yang dibiarkan menyala di atas meja kecil di sebrang tempat tidur. Nyala api itu bergoyang-goyang. Dia menggelengkan kepala, mengenyahkan pelbagai hal yang terus membebani pikirannya. Ada banyak persoalan yang menuntut untuk segera diselesaikan.

Dia teringat saat Banaspati meminta imbalan karena telah menyelamatkan nyawanya. Si Raja Iblis meminta Anatari untuk menghancurkan tiga nagari dan membantunya menghancurkan segel gaib yang mengurungnya selama hampir seratus tahun di Celah Mrapen.

Anatari mendesah lemah. "Sudah tidak ada jalan keluar."

Dia melirik bantal kapuk bersulam bunga mawar liar dalam paduan benang merah dan emas yang mewah. Dia mengusap sulaman bunga itu. Tak lama tangannya mengepal erat. Dia harus menahan diri, menahan hatinya agar tidak merindukan Abinawa.

***


Siang itu, Anatari memutuskan untuk mengunjungi taman mawar yang terletak di halaman belakang keputren. Wajahnya lesu menatap pohon-pohon mawar yang kering, tak berdaun, dan semrawut tak terurus.

Langkahnya lambat dan tatapannya hanya tertuju pada sebuah pohon mawar liar terbesar di tengah taman. Satu-satunya pohon yang masih berbatang hijau meski tak lagi dihuni dedaunan apalagi bunga.

"Pohon apa ini?" tanya Kala yang muncul tiba-tiba.

Anatari meraba pohon itu dengan hati-hati. Tatapannya penuh kerinduan.

".... Mawar liar."

"Jadi ini pohon kalian. Ternyata memang masih mengingat pria itu. Apa hebatnya dia? Dia bukan lagi Yuwaraja, hanya seorang guru dengan kehidupan yang biasa saja. Tidak ada yang menarik. Kecuali, predikatnya sebagai 'Yuwaraja Terusir' masih melekat padanya." Kala berbicara acuh tak acuh dengan pandangan tak fokus, mengamati sekelilingnya.

Telunjuk Anatari tertusuk duri tua yang sudah berubah warna. Dia mengibaskan darah yang merembes keluar dari luka kecilnya.

"Sejak kapan aku harus memberi penjelasan padamu?"

"Aku sedang mengingatkan."

"Tidak butuh. Ingatanku masih bagus."

"Kau ini ... sejak memutuskan untuk memenuhi peranmu sebagai Anatari Lingga, kau menjadi lebih keras kepala dibandingkan sebelumnya."

"Terimakasih pujiannya."

"Itu bukan pujian. Suatu saat kau akan terkena masalah karena sikapmu itu."

"Sombong. Keras kepala. Itu bagian dari kita. Kau baru mengkhawatirkannya sekarang. Bukankah sudah terlambat?" pungkas Anatari.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang