Chapter 16. Kembali ke Bhumi Acarya

48 10 0
                                    

Abinawa menyalurkan tenaga dalam untuk membantu memulihkan kondisi Sagara. Anatari dan Taruna menunggu di depan mulut guha. Tangan Anatari terulur, menadah tetesan-tetesan air hujan.

"Apa yang terjadi pada Sagara selama tujuh tahun ini?" tanya Anatari.

"Kakang Sagara berlatih sangat keras, bahkan cenderung memaksakan diri. Saya sudah memperingatkannya berulang kali, tetapi Kakang Sagara selalu berkilah bahwa dia harus lebih kuat agar ketika waktunya tiba Kangmas Abinawa menjemput kami, ilmu kanuragannya sudah meningkat pesat. Dia benar-benar ingin mengalahkan si pria bertopi caping," ungkap Taruna.

Anatari melemparkan air yang tertampung di telapak tangannya ke arah dedaunan. Beberapa helai daun terbelah, menggugurkan bagian yang terpisah.

Anatari berpaling pada Taruna. "Sagara bukanlah tandingan pria bertopi caping. Pria itu menguasai ajian rawarontek. Betapapun dia berusaha menghabisinya, akan berakhir dengan percuma."

"Pria itu menguasai ilmu sesat tingkat tinggi? Mengingat dia berada di pihak musuh, sudah terasa mengerikan."

Abinawa mencuri dengar ditengah fokusnya mengobati Sagara. "Sekalipun ilmu itu sangat hebat, pasti memiliki titik lemah yang tidak terelakkan."

"Apa yang dikatakan Abinawa memang benar. Tugas kita untuk mencari tahu kelemahan ajian rawarontek," ucap Anatari.

"Aku akan mencari tahu kelemahan ajian rawarontek," tegas Taruna. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin."

Anatari menimbang. Kebulatan tekad Taruna untuk menyasar si pria bertopi caping sepertinya telah mendarah daging dalam dirinya. Bukan tanpa sebab. Taruna pasti ingin membalaskan dendam atas kematian Lavi.

"Aku menyetujuinya. Tapi lebih penting bagimu untuk menanyakan pendapat Abinawa terlebih dahulu. Benar, 'kan, Abinawa?"

Suara Anatari yang bergaung terdengar nyaring di telinga Abinawa. Pria itu pun menjawabnya dengan gumaman ringan.

Anatari membalas senyum Taruna yang mengembang. "Keinginanmu akan menjadi tugas utama mu setelah keluar dari tempat ini. Lakukanlah dengan baik."

"Tentu saja, Gusti Kangjeng Ratu. Saya akan berusaha sangat keras." Taruna bersungguh-sungguh.

Napas Sagara terdengar tenang dan teratur. Abinawa melepaskan tangannya dari punggung saudaranya yang kini sudah dapat duduk tanpa butuh sokongan.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Abinawa.

"Sudah lebih baik, Kangmas. Terimakasih," jawab Sagara, lemah.

"Baguslah."

Anatari dan Taruna menghampiri keduanya. Sagara hendak membungkuk memberikan hormat. Namun, Anatari memberi tanda untuk tidak melakukannya

"Apa rencana kita sekarang?" tanya Anatari

"Kita tunggu Sagara sedikit lebih kuat sebelum menempuh perjalanan panjang kembali ke Acarya," kata Abinawa.

"Tidak masalah." Anatari melihat tumpukan kayu bakar di salah satu sisi dinding guha. Kayu bakar itu pasti diberikan oleh Abinawa ataupun Jiyem dan Liyem yang datang menjenguk keadaan keduanya.

"Kita buat api unggun," kata Anatari pada Taruna.

Taruna mematuhi ucapan Anatari dengan sigap. Batang-batang kayu telah disusun rapi. Anatari melemparkan bola api ke tumpukan kayu itu. Api pun membesar dengan cepat. Keempatnya duduk mengelilingi api unggun, menatap langit senja yang perlahan kehilangan cahayanya.

"Darimana kalian mendapatkan pasokan kayu bakar, sedangkan mulut guha dilindungi perisai gaib cakra inti si pembuat?" selidik Anatari.

"Kami mendapatkannya dari Liyem dan Jiyem setiap kali mereka datang menengok kami. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana bisa perisai gaib itu dapat ditembus oleh makanan dan kayu bakar. Sedangkan bagi orang-orang yang ingin menembusnya, perisai itu akan terasa tebal juga ketat. Semakin dipaksa, malah memuai tanpa ujung," tutur Taruna.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang