Anatari berdiri di tengah-tengah Pendopo Besar. Bumantara berwarna keunguan, mentari memancarkan cahaya jingga kemerahan, menyorot langsung pendopo besar yang hanya dibatasi tirai-tirai emas di ketiga sisinya. Anatari menatap singgasana dalam waktu lama.
"Kau ingin menduduki posisi ratu?" tanya Kala. Dia duduk di tempat yang diperuntukkan bagi seseorang yang menjabat Mahamantri.
"Bagaimana menurutmu?" Anatari balik bertanya.
"Dengan menjadi seorang ratu, kau akan mendapat banyak dukungan seperti yang dikatakan kedua Paman mu. Kau akan memiliki kekuatan untuk melancarkan aksi balas dendammu. Tapi, poin terpentingnya saat ini adalah ... kesetiaan. Jangan biarkan seorang pengkhianat merusak semua rencanamu," beber Kala.
"Aku harus membungkam mereka dengan kemampuanku sendiri." Anatari membalikan badan. "Mereka tidak akan berani berkata seperti itu seandainya aku tidak terlibat masalah pada tujuh tahun lalu."
"Sekarang pun belum terlambat untuk membungkam keduanya. Kalau takut, masih ada aku yang sanggup melakukannya."
"Jangan lakukan apapun pada keduanya. Aku membutuhkan mereka untuk mendukungku saat menduduki singgasana ini."
"Kau memiliki sepuluh ribu pasukan Perewa Bertopeng. Satu dari mereka, setara dengan kekuatan lima ratus prajurit kaum manusia. Apa yang kau takutkan? Kau memiliki banyak pendukung terkuat."
Kala mengungkapkan kebenaran. Banaspati menghadiahkan sepuluh ribu pasukan Perewa Bertopeng, karena Anatari sudah berjanji akan memenuhi keinginan Banaspati perihal kebebasan si Raja Iblis. Tapi hal itu tidak dapat diandalkan dalam situasi saat ini.
"Aku membutuhkan dukungan manusia," pungkas Anatari.
"Oh. Pernyataan yang diskriminatif," ledek Kala.
"Berhentilah menghasutku. Ok. Banaspati menyuruhmu untuk mengawasiku, bukan mencampuri urusanku."
"Baiklah. Baik. Aku akan mengawasimu. Tapi, "Ok" ... aku tidak suka penegasan seperti itu."
Anatari tidak mengacuhkan protes lawan bicaranya. Dia menatap mentari yang tenggelam. Hanya ada keheningan di antara keduanya. Anatari melirik si iblis muda yang terus menatapnya.
"Apa?" tanya Anatari.
"Apa?" Kala balik bertanya.
"Jika kau tidak ingin mengatakan sesuatu, maka berhentilah menatapku," suruh Anatari.
"Aku sedang mengawasimu."
Wajah Anatari merona. Dia tahu persis wujud Kala yang sesungguhnya. Tapi penyamarannya dalam wujud pria kisaran dua puluh sembilan tahun ... ya ampun. Siapa yang tidak akan tergoda dibuntuti pria tampan, diperhatikan, ditatap begitu intens seperti pemangsa yang menggoda buruannya. Terlebih pria itu siap melakukan kejahatan demi mendukung aksi balas dendammu. Kala adalah sesuatu yang gila. Sesuatu yang siap menenggelamkanmu dalam pesonanya.
Anatari cepat-cepat memalingkan wajahnya. "Berhentilah bermain-main."
"Itu karena kau terlalu serius. Setiap hari melihat wajahmu yang kaku, membuatku tidak punya hiburan," keluh Kala dengan sikap acuh tak acuhnya.
Jantung Anatari berdebar. Sikap Kala saat ini membuatnya teringat pada Abinawa. Anatari memutuskan untuk meninggalkan Kala.
"Kalau begitu jangan menatap wajahku lagi. Kita sepakat!" tegas Anatari.
Kala mengangkat sebelah alisnya seakan berkata "Oh, ya!", lantas tersenyum geli.
***
Jiyem dan Liyem berdiri di selasar kediaman Anatari, menanti kedatangan Ndoro Putri-nya. Senyum keduanya mengembang saat menangkap keberadaan Anatari di halaman depan. Keduanya lantas memberikan hormat saat Anatari mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy🍃Terimakasih WattpadFantasiID yang telah memilih PTDBJ masuk ke dalam Reading List January 2024🍃 🍃🍃🍃 Tujuh tahun telah berlalu, tetapi rumor tentang Anatari dan Abinawa masih saja berkembang. Anatari bangkit dari kematian untuk menjalankan kemb...