Chapter 1. Bhumi Girilaya (1)

134 20 0
                                    

Anatari berdiri di depan gapura batu gerbang utama kedaton Bhumi Girilaya. Lengang. Tanpa ada prajurit yang berjaga.

Tangannya terulur ke depan. Sebuah riak gelombang keperakan muncul dari udara yang disentuhnya. Anatari menarik tangannya, membisikan kata-kata. Api berkobar di tangannya, lantas dia pukul perisai gaib itu hingga berlubang dan membara dilalap api.

Perempuan itu mendongak di bawah naungan payungnya, menatap ratusan anak tangga yang mengarah ke dalam lingkungan kedaton Bhumi Girilaya. Anehnya. Anatari tidak merasakan sebuah kerinduan pada tempat kelahirannya. Sebuah tempat yang disebut 'rumah'. Tak ada kehangatan dari satu kata itu. Dingin. Kelam. Penyesalan. Anatari menunduk. Genggaman di gagang payung mengeras. Anatari melukiskan senyum dinginnya.

Kakinya meniti naik anak tangga. Tak ada suara manusia di permukaan maupun mereka yang biasanya hilir mudik di lorong-lorong bawah tanah. Satu-satunya suara yang bertingkah hanya tetesan-tetesan sisa air hujan yang jatuh ke dalam kolam-kolam air mancur.

Kedaton Bhumi Girilaya-tempat dia tumbuh terkekang-tak jauh berbeda. Aura sihir gaib begitu pekat. Mereka-pengikut Banaspati-mengintip dari balik tempat-tempat tersembunyi. Mata-mata menyala mengawasi pergerakan Anatari.

Angin mengantarkan hawa dingin yang mencekam. Kelembaban yang tinggi dari tanah basah mengantarkan aroma amis dan busuk yang hanya mampu dihirup si pemilik indera ke enam. Ilalang memenuhi petak-petak taman terlantar. Dewi malam mencuri pandang dari balik awan.

Tatapan Anatari terfokus pada Pendopo Besar di puncak tangga. Tempat satu-satunya yang berpencahayaan temaram di tengah kegelapan yang menyelimuti lingkungan kedaton Bhumi Girilaya.

Ratu Bhumi Girilaya duduk di atas singgasananya. Matanya terpejam. Jemarinya menggulir satu per satu butir japamala. Mulutnya yang kering dan pecah tak henti menggumamkan doa.

Anatari mengibaskan sekelompok kunang-kunang di depannya. Hewan-hewan itu berpencar menuju celupak dan obor yang padam, berubah menjadi nyala api yang terang benderang.

Falguni menghentikan doa. Kelopak matanya yang sembab terbuka. "Anatari." Ratu Falguni bangkit, menuruni lima anak tangga dengan langkah tertatih. Bibirnya tak henti membisikkan nama keponakannya dengan nada lirih.

Anatari bergeming di tempatnya. Mengawasi tubuh lemah Bibinya yang beringsut mendekat.

Falguni menyandarkan tangannya di bahu Anatari, mengamati wajah keponakannya dalam tatapan sedih penuh penyesalan.

"Maafkan aku. Maafkan aku." Tubuhnya yang rapuh merosot ke lantai, tapi Anatari tidak melakukan apapun. "Semua ini salahku. Semuanya adalah salahku."

Anatari tahu pasti maksud dibalik ucapan Bibinya. Namun, dia tidak ingin membahas hal itu sekarang. Tidak selama Bibinya masih dalam keadaan terguncang oleh entah sebab apa.

Pria bertopi caping muncul di belakang Anatari.

"Perkiraanku memang benar," ucap Anatari.

Pria bertopi caping menunduk. Anatari menjauh dari Bibinya. Menatap dingin pria yang belum mau menunjukan identitasnya.

Pria itu memberikan hormat, tapi enggan melontarkan tanggapan atas pernyataan Anatari. Manik kelabu dibalik kain penutup tertuju pada Falguni yang duduk di lantai, terus mengulang permintaan maaf.

"Biarkan Ratu kembali ke ruang tidurnya," pinta pria itu.

Anatari menoleh pada Bibinya yang bertingkah layaknya orang linglung. Tidak ada gunanya juga membiarkan Bibinya terus berada di sini dan berbicara ngelantur.

Anatari menggumamkan satu kata, "Geni". Cunduk naga terlepas dengan sendirinya, beralih ke sebelah Anatari, berubah menjadi pria belasan tahun bersurai pendek abu keperakan dengan dua tanduk sehitam arang serta bercabang yang bertengger di atas kepalanya.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang