Chapter 41. Pertarungan Terakhir (2)

55 11 3
                                    

"Anatari, sadarlah," ucap Falguni.

Anatari mengacungkan keris Geni Brata pada Jiera.

"Aku sudah tidak bisa melawanmu. Serangan Abinawa telah merusak sebagian meridianku," ucap Jiera. "Jika kau ingin membunuhku juga Bibimu, maka bunuh saja. Kami tidak akan melawan."

"Anatari sudah pasti akan membunuh kalian berdua." Mahesa muncul begitu saja di samping Antari.

"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jiera.

"Tidak penting apa yang akan aku lakukan. Sebaliknya, Anatari memiliki tujuannya sendiri kembali ke Girilaya," kata Mahesa.

Mata Jiera membelalak. "Kalian sungguh akan melakukan rencana itu?"

"Tentu saja. Untuk menciptakan peradaban yang baru, maka penghuni lama harus dibinasakan sebagai jaminan tak ada bibit pemberontak, yang memiliki pemikiran untuk membalaskan dendam lama," jelas Mahesa.

"Kita masih bisa mencari jalan lain selain menghancurkan peradaban yang lebih dulu ada," kata Jiera.

"Kita?" Mahesa mengangkat satu sudut bibirnya. "Kurasa kita tidak lagi sejalan, Jiera. Kau yang menyarankan ide gila itu. Tapi apa sekarang? Kau mencoba menampiknya? Apa kebaikan Lembu Jalanatra telah mempengaruhi cara berpikirmu?"

Jiera mengangkat kedua alisnya. "Kau mengetahui identitasnya?"

"Jangan menganggapku bodoh. Aku sudah lebih dulu bertemu Lembu Jalanatra dan mengenal jurus-jurus kanuragan yang dikuasainya," jelas Mahesa.

"Kalau kau sudah mengetahuinya, kenapa kau terus membiarkannya?" tanya Jiera.

"Kau tidak perlu tahu alasannya," ketus Mahesa. "Tujuanku hampir tercapai." Mahesa memegang bahu Anatari. "Sekarang Anatari akan menjalankan perannya untuk memenuhi takdirnya sebagai pengikut terpilih yang akan membangkitkan Banaspati."

"Kau tidak bisa membodohiku. Untuk melepaskan Banaspati, Anatari harus berada dalam kesadaran penuh. Bukan dalam keadaan dikendalikan oleh sihir pengendali," kata Jiera.

"Kau tidak perlu mencemaskannya. Anatari akan melakukannya dengan kemauannya sendiri. Percayalah," kata Mahesa. Pria itu melirik Falguni yang berbaring tak berdaya. "Waktu hidupmu tidak akan lama lagi, Bibi. Haruskah aku membantumu mempercepat ajalmu?"

Jiera menggeser berdirinya ke hadapan Falguni. "Aku bertanggung jawab atas keselamatannya."

"Menarik. Kalian yang sebelumnya rival kini menjadi kolega. Kenapa tidak sekalian menjadi teman sehidup semati?" sindir Mahesa.

Mahesa melayangkan serangan pada Falguni yang langsung diblokir oleh Jiera. Perempuan itu terjatuh di dekat pembaringan. Darah segar mengalir dari mulutnya.

"Jiera, pergilah," suruh Falguni.

"Jangan harap," ucap Jiera, berusaha berdiri.

"Pergilah, Jiera. Kau harus hidup demi melindungi Ranubaya," kata Mahesa.

"Ranu. Jangan menyentuhnya. Dia tidak mengetahui apapun. Jangan mencelakainya," mohon Jiera.

"Aku tidak akan menyentuhnya, asalkan kau patuh pada apa yang akan aku katakan," kata Mahesa. Dia melirik Falguni. "Bantu Falguni terbebas dari penderitaannya dan habisi Sagara."

Kaki Jiera menjadi goyah. Haruskah dia mengkhianati kepercayaan Lembu Jalanatra yang telah menyelamatkan nyawanya?

Anatari mendengar dengan jelas pembicaraan mereka, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia masih harus berpura-pura berada di dalam pengaruh sihir pengendali. Hatinya pun menyesal atas kematian Jiyem dan Liyem. Anatari tidak berdaya sebab Mahesa terus mengawasinya. Bila dia tidak melakukannya, maka Mahesa dan Kumara akan mencurigainya. Dia tidak bisa membongkar sandiwaranya saat ini, sebab dia belum mendapatkan apa yang diinginkannya.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang