Chapter 40. Pertarungan Terakhir (1)

54 12 3
                                    

Taruna mengerahkan seluruh kekuatan spiritualnya. Tangannya mengarah ke atas, berusaha merusak perisai yang dibentuk dari energi inti Mahesa yang jelas tak sebanding dengan kekuatannya. Itu bukan masalah besar bagi pria penuh tekad seperti dirinya. Sekalipun dia harus menguras seluruh cakranya, dia akan akan tetap melakukannya. Lebih baik mati dengan terhormat daripada hidup menjadi seseorang yang tidak berguna, itulah pedoman hidup yang diyakininya sebagai seorang ksatria Bhumi Javacekwara.

Mulutnya menyemburkan darah segar. Kedua lututnya tertekuk gemetar. Tapi dia tidak gentar. Kening Taruna berkerut merasakan sesuatu yang hangat menjalar di tangan kanannya. Dia menoleh ke samping kanan dan tersenyum. Lavi berdiri bersamanya. Sosok tembus pandang itu tersenyum lembut pada Taruna. Sebuah senyuman yang selalu dirindukan pria itu.

"Lavi," lirih Taruna.

Lavi hanya tersenyum dan mengangguk. Taruna membalasnya dengan anggukan penuh keyakinan. Pria itu mengerahkan seluruh energi inti dalam cakranya. Kedua kakinya menjadi kokoh dan tekadnya tak terbendung.

"Ayahku pernah berkata di penghujung napasnya, bahwa ibuku telah datang menjemputnya. Tapi aku tidak bisa melihatnya." Taruna menunduk, tersenyum dan menangis di saat bersamaan. "Sepertinya, aku juga akan pergi bersamamu ... Lavi."

Taruna berteriak. Ledakan energi spiritualnya menembus perisai energi inti Mahesa, menimbulkan getaran yang menarik perhatian.

Abinawa menghentikan perlawanannya dari serangan Mahesa. Dia berlari mendekati gapura utama yang pintunya telah terlepas dari tempatnya akibat ledakan energi yang baru saja terjadi.

Sagara berdiri di samping Abinawa. "Kangmas, Yang Mulia Ratu."

"Ini tidak terasa seperti energi inti Anatari," ucap Abinawa.

Mahesa ikut mengawasi ke kegelapan yang menyelimuti lingkungan kedaton.

Taruna berjalan limbung dari dalam kegelapan. Tubuhnya tumbang tepat di ambang gapura utama.

"Taruna!" Sagara bergegas menghampiri. Dia memeriksa keadaan Taruna melalui alat pernapasannya dan denyut nadi di leher sebelah kanan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Abinawa.

Sagara tampak terguncang. "Taruna telah mengorbankan seluruh cakranya untuk menghancurkan perisai gaib."

Tangan Abinawa mengepal erat. Rahangnya mengeras merasakan amarah. Dia berbalik menghadapi Mahesa.

"Satu lagi nyawa yang layak untuk kau pertanggung jawabkan," desis Abinawa.

Suara dengungan menyerupai suara ribuan lebah, datang dari atas bumantara kuthanagara Javacekwara. Suara yang awalnya samar, bertahap menjadi jelas dan keras. Orang-orang mulai panik.

Penglihatan tajam Geni menembus kegelapan malam, menangkap pasukan hewan kecil berwarna gelap yang terbang memenuhi udara. Energi gelap terasa pekat menyelimuti makhluk gaib peliharaan Kumara.

Geni merubah wujudnya menjadi naga raksasa, terbang langsung ke arah pasukan hewan gaib itu. Mulutnya menyemburkan api. Sesekali memakan mereka secara langsung.

Abinawa mengawasi pergerakan Geni. "Apa yang kau lakukan padanya?"

"Aku tidak melakukan apapun. Kumara yang melakukannya. Dan, sepertinya dia tidak hanya akan menyibukan si naga," ucap Mahesa.

"Apa maksudmu?" tanya Abinawa.

Mahesa dan Parta menghilang seketika.

Semua orang yang berada di kuthanagara Bhumi Javacekwara berhamburan diserang ribuan hewan aneh. Hewan-hewan itu menyasar kening semua orang. Menembusnya dan mengubah orang-orang itu menjadi benda yang dapat mereka kendalikan secara keseluruhan.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang