Chapter 32. Cundaka (3)

65 10 0
                                    

"Abinawa, kau ...."

Dahi Anatari berkerut dalam. Manik hitam itu berembun. Dia menatap nanar rambut Abinawa yang tergerai bebas. Putih berkilau tertimpa cahaya bulan purnama. Tangan Anatari terulur hendak menyentuhnya, tapi ditariknya kembali.

Inilah akibat yang ditakutkan Anatari saat Abinawa menyerap kekuatan energi gelap dari tubuh Janardana, sementara di dalam tubuhnya terdapat elemen inti kaum siluman.

Berbeda halnya dengan Geni yang mampu menetralkan energi gelap yang dilahapnya. Itu dikarenakan Geni memang keturunan murni kaum siluman. Dan energi gelap memang salah satu menu makanannya.

Sedangkan Abinawa. Dia hanya manusia biasa yang dipilih sebagai penerus kekuatan siluman harimau. Hal itu tidak serta merta menjadikan Abinawa sebagai siluman yang kebal terhadap energi gelap.

Kecerobohan yang telah Abinawa lakukan berakibat pada terkurasnya elemen inti siluman harimau yang harus bekerja keras menstabilkan energi gelap dalam tubuhnya. Efek samping pun terjadi pada perubahan rambutnya yang memutih sebab cakra siluman harimau telah jauh menyusut. Yang juga menandakan bahwa hidupnya mungkin saja tidak akan lama lagi.

Lutut Anatari bergemertak, terjatuh lemas. Perasaannya kalut dan tak menentu. Abinawa ikut duduk di samping Anatari, bersandar pada batang pohon sonokembang.

"Apa yang membuatmu begitu sedih?"

"Yang membuatku sedih adalah melihat apa yang terjadi padamu. Semua orang melihat kau menyerap energi gelap. Dan ... dan sekarang ...." Anatari tergagap tak sanggup berucap.

"Aku tidak akan mati. Setidaknya sampai kita mampu mencapai keseimbangan hidup di tanah jawi."

Anatari menjadi tidak mengerti. Dia menarik tangan Abinawa, mengamatinya. Tidak ada lebam yang muncul di bagian persendian. Pembuluh darahnya pun normal.

"Hatiku merasa sedih saat memikirkanmu. Kau telah berkorban banyak untuk orang-orang di sekitarmu, termasuk diriku. Tapi hingga kini aku hanya menjadi bebanmu," ungkap Anatari.

Abinawa mengangkat dagu Anatari. Menatap penuh kasih jauh ke dalam manik kelam yang bersedih. "Aku ingin melihatmu selalu tersenyum untukku terutama di saat terberatku. Karena senyummu membuatku mampu menghadapi segala macam bahaya. Kalau kau terus bersedih untukku, maka hatiku akan terluka karenanya."

Anatari menggenggam erat tangan Abinawa yang menyentuh dagunya. "Aku tidak ingin terpisah lagi darimu. Menghadapi semuanya bersama. Dan juga mati bersama."

Abinawa tersenyum, menarik Anatari ke dalam dekapannya. "Harimau itu menemuiku saat terbaring di ruang tidur. Dia mengeluarkan Kembang Ing Segara dan memintaku mengucapkan permohonan. Kau masih mengingat benda itu, 'kan?"

"Aku masih mengingatnya."

"Aku mengucapkan permohonanku. Dan terwujud. Sayangnya, rambutku tidak bisa diubah jadi hitam kembali."

Anatari mendongak. "Permohonan apa yang kau ucapkan?"

Abinawa menatap wajah Anatari yang bersandar di dadanya. "Aku akan mengatakannya padamu suatu hari nanti."

"Kuharap permohonanmu bukan sesuatu yang mengejutkanku dalam hal yang tidak aku harapkan," ungkap Anatari, cemas.

Abinawa tak berani menanggapi. Hanya sebuah senyuman yang mampu dia suguhkan agar Anatari percaya padanya.

"Anatari. Bisakah kau mengatakan padaku, siapa Anatari Kemala?" tanya Abinawa.

Anatari melepaskan diri, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

"Kudengar kau berterimakasih pada Anatari Kemala. Siapa perempuan bernama Anatari Kemala? Dan, bukankah kau terkena kutukan kata," tanya Abinawa, curiga.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang