"Apa kau bisa menemukan jalan masuknya?"
Abinawa menegakkan punggung. Perhatiannya masih terfokus pada hamparan perkamen kulit kayu di atas meja. Dia menggelengkan kepalanya.
"Jalur, sudut, dan ruang, semuanya nampak normal. Aku tidak menemukan satu pun keganjilan yang patut dicurigai. Satahuku, memang seperti inilah penampakan peta penjara kedaton," urai Abinawa.
Ki Darsana mengelus janggut kelabunya yang dibiarkan menjuntai bebas hingga ke dadanya yang coklat.
"Tidak semua yang ganjil patut dicurigai. Bahkan sesuatu yang terlihat sangat normal pun bisa menjadi ancaman sesungguhnya yang tersembunyi," kata Ki Darsana.
Abinama melengkungkan punggungnya di atas meja. Kedua tangannya terentang memegang sisi meja. Dahinya berkerut dalam, mencoba mempelajari peta itu sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama. Peta itu normal.
"Aku masih belum menemukan jawabannya," ucap Abinawa.
"Jangan terlalu memaksakan diri pada satu kesempatan. Bawalah peta ini dan pelajari di saat kau mampu meninggalkan segala beban duniamu, karena pada saat itulah pikiranmu mampu mencerna sesuatu yang tadinya tidak pernah kau pikirkan sama sekali," suruh Ki Darsana.
Abinawa menegakkan badan. "Baiklah, Ki."
Denting lonceng samar terdengar. Ki Darsana menjadi waspada. Tangannya terulur ke atas perkamen.
"Benahilah. Aku akan lihat siapa yang datang."
Abinawa mengangguk.
Setelah membereskan benda terpenting dan menyamarkannya di antara tumpukan kitab-kitab daun lontar, Abinawa keluar sambil membawa satu nampan panjang yang berisi tiga belas kitab.
Di depan meja konter berdiri seorang perempuan jelita yang memakai gaun dalam nuansa biru muda yang cerah dan sinjang paduan warna coklat muda juga tua. Rambut hitamnya disanggul rapi. Namun, tetap memperlihatkan bentuk-bentuk ikal yang alami. Bunga anggrek putih menghiasi sanggulan rambutnya.
Perempuan itu tersenyum anggun menyambut Abinawa yang berjalan mendekat.
Abinawa menunduk, memberikan hormat. Tangan wanita itu terulur bermaksud mencegah, tapi kalah cepat dengan gerak hormat Abinawa.
"Kita sudah saling mengenal begitu lama. Mohon Kakang Abinawa tidak perlu terlalu formal dalam bersikap," ujar lembut Indira Janita.
"Di mana pun kita berada, sebaiknya tidak meninggalkan tata krama. Harap Gusti Putri memaklumi," timpal Abinawa.
Abinawa tak ingin menanggalkan sikap formalnya pada adik perempuan sahabatnya. Dia sengaja menjaga jarak. Dia sengaja menghindar. Dia sengaja bersikap tak acuh. Abinawa tahu telah bersikap jahat. Tapi dia harus melakukannya, karena Abinawa tidak bisa memenuhi apa yang dikehendaki sang putri.
Dan bukan hanya itu saja. Abinawa masih belum mampu melupakan Anatari. Dia masih menantinya. Perasaannya masih terjaga. Bila suatu saat nanti mereka bertemu-tidak tahu perasaan apa yang akan dirasakannya lebih dulu-Abinawa hanya akan memilih Anatari.
Indira berusaha menyembunyikan rasa kecewanya dalam senyuman. "Kakang Abinawa benar. Maafkan kelancanganku yang mencoba mengakrabkan diri."
"Tidak apa-apa, Gusti Putri."
Abinawa menyimpan nampan kitabnya di atas meja konter, meminta Ki Darsana menghitung semua kitab yang dibelinya. Setelah menyelesaikan urusan dengan Ki Darsana, Abinawa meminta undur diri kepada Indira yang masih berdiri di dekatnya, berharap Abinawa mau berbincang lebih lama dengannya. Namun, Abinawa sepertinya sedang ada urusan lain yang membuatnya harus segera meninggalkan tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy🍃Terimakasih WattpadFantasiID yang telah memilih PTDBJ masuk ke dalam Reading List January 2024🍃 🍃🍃🍃 Tujuh tahun telah berlalu, tetapi rumor tentang Anatari dan Abinawa masih saja berkembang. Anatari bangkit dari kematian untuk menjalankan kemb...