Chapter 36. Bhumi Javacekwara (3)

58 11 0
                                    

Ranubaya terjatuh di antara kaki tiga orang dewasa yang mengelilinginya. Anatari dan Sagara memeriksa di tempat seperti apa Abinawa membawa mereka. Ranubaya memegangi perutnya. Mulutnya menyemburkan seluruh makanan yang baru saja disantapnya.

Anatari menggelengkan kepala, membantu menepuk pundak si anak yang malang. "Kau akan terbiasa nanti." Dia melirik Abinawa yang mendadak menggunakan ajian panglimunan, menyeret serta tiga orang lainnya. "Mengapa kau membawa kami keluar tembok pertahanan kuthanagara? Bukankah tindakan ini justru lebih merepotkan? Lebih baik kita hadapi mereka, toh, keberadaan kita sudah terendus Mahesa."

"Bagi kita orang dewasa, terlibat pertarungan bukanlah sebuah masalah, tapi tidak bagi Ranubaya," tanggap Abinawa.

Ranubaya sumringah menatap Abinawa. "Ternyata Romo memang bijaksana seperti yang dikatakan Biyung."

Anatari memutar bahu Ranubaya ke arah Sagara. "Kau akan pergi dengan pria ini. Namanya Sagara. Temui Biyungmu dan tanyakan padanya siapa pria yang ada di depanmu ini. Kau bisa melakukannya?"

Ranubaya menoleh pada Anatari. "Memangnya siapa Paman ini?"

"Biyungmu yang baik hati sangat mengenalnya. Berhati-hatilah. Jangan jauh-jauh dari Paman Sagara. Mengerti," ucap Anatari.

Ranubaya mengangguk patuh.

"Sagara, lekaslah pergi sebelum prajurit mengetahui keberadaan kalian," kata Abinawa.

"Bagaimana dengan Kangmas?" tanya Sagara.

"Banyak orang akan membantuku," jawab Abinawa.

Ranubaya memeluk erat Abinawa. "Kalau Romo tidak pergi, Ranu juga tidak akan pergi."

Abinawa berjongkok, memegang kedua bahu Ranubaya dan berujar lembut. "Apa kau mendengar ucapan Bibi Anatari?"

Ranubaya mengangguk. "Ranu mendengarnya."

"Kalau begitu kau sudah tahu apa yang mesti dilakukan, 'kan?" tanya Abinawa.

Ranubaya menekuk wajahnya. "Sudah, Romo."

"Anak pintar." Abinawa berdiri, mengangsurkan Ranubaya pada Sagara. "Jangan menunda waktu lagi."

"Baik, Kangmas."

Sagara mengulurkan tangannya pada Ranubaya yang disambut anak itu tanpa ragu. Keduanya pun bergegas pergi ke arah hutan.

Anatari bersedekap, beringsut mendekati Abinawa. "Kenapa tidak katakan saja bahwa Sagara adalah Ayahandanya?"

Abinawa tersenyum, menarik bahu Anatari ke arahnya. "Mengatakannya tidak semudah yang kita kira. Kita harus mempertimbangkan perasaan anak itu. Pepatah bilang 'darah tidak lebih kental dari air', Ranubaya pasti akan menyadari siapa pria yang bersamanya. Sudahlah, sebaiknya kita mengurus masalah kita sendiri."

Anatari tidak menyangka bahwa perasaan Abinawa begitu lembut pada seorang bocah yang bahkan bukan darah dagingnya. Kerinduan Anatari Kemala pada ayah kandungnya yang telah tiada seketika membuatnya sulit untuk bernapas. Anatari Kemala memiliki ikatan yang lebih erat dengan sang ayah dibandingkan dengan ibunya yang begitu tega mengusirnya di hari ulang tahunnya yang ke sepuluh.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang