Chapter 22. Bhumi Acarya (8)

62 12 2
                                    

Seekor kunang-kunang terbang di tengah dinginnya udara pagi yang masih berembun. Meliuk di antara banyaknya kepala yang hilir mudik di tengah jalan. Hewan itu terbang lebih tinggi melewati tembok batu bata merah kedaton.

Anatari dan Geni membaur bersama penduduk kuthanagara Acarya. Keduanya duduk di sebuah kedai terbuka, tidak jauh dari gapura utama kedaton Acarya.

"Orang itu yang ingin kau temui," ucap Geni, mengamati pintu gapura kedaton yang dijaga dua prajurit keamanan bentukan Bhumi Javacekwara dan Bhumi Acarya.

"Aku ingin memastikan sesuatu padanya," sahut Anatari.

"Mengenai apa?"

"Aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Ini mengenai penawar, obat, mantra, atau apapun itu yang mampu mengakhiri kutukan sihir menular," jawab Anatari, sedikit risau.

Pintu gapura utama terbuka. Seorang pria yang Anatari dan Geni kenal melangkah keluar dalam busana sederhana berwarna coklat muda. Tak ada aksesoris mewah yang menempel di tubuhnya. Begitulah penampilan Raja Kumara setiap dia berkeliaran di luar lingkungan kedatonnya.

Manik hitam Raja Kumara menyipit ke arah kedai tempat Anatari berada. Perempuan berwajah oval itu mengangguk dangkal.

Raja Kumara tersenyum. "Aku melihat kunang-kunang Anda menghampiriku saat pertemuan pagi di Pendopo Mulya. Meletupkan percikan api di hadapan para pejabat tinggi. Menimbulkan sedikit kericuhan."

"Oh, kuharap mereka baik-baik saja," ucap Anatari, sambil lalu. "Aku kemari untuk berjemur, juga meregangkan seluruh persendianku sebelum menempuh perjalanan kembali ke Girilaya."

"Secepat itukah. Anda tidak menunggu Abinawa siuman terlebih dahulu? Saat itu dia pasti akan menanyakan Anda," kata Raja Kumara.

"Harap Paduka tidak terlalu formal manggilku. Aku sudah lama melepaskan gelar Gusti Kangjeng Ratu," kata Anatari. "Mengenai kepulanganku, aku tidak bisa menundanya lagi. Aku sudah berjanji pada kedua Pamanku, bahwa aku akan membawakan obat penawar untuk Bibi dalam waktu empat belas hari. Sekarang sudah tujuh belas hari. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Bibiku saat ini."

"Aku bisa memahaminya," ucap Raja Kumara seraya mengangguk. "Maafkan aku mengenai penawar yang kau inginkan. Aku ikut menyesal."

"Paduka tidak perlu ambil pusing. Aku sudah tahu siapa pelakunya. Hanya belum tahu tujuan mereka menginginkannya," ungkap Anatari.

Pupil Raja Kumara membesar. Dia berpikir sesaat sebelum berkata, "Mungkinkah itu Mahesa?"

"Pria bertopi caping itu adalah Kepala Pengawal Jiera. Belum dapat dipastikan apakah dia menyerahkan setengah halaman perkamen yang telah dicurinya itu pada Jiera ataukah Mahesa. Aku masih harus menyelidikinya," ucap Anatari, hati-hati.

"Bila mereka menginginkan penawar itu, mungkinkah sihir menular yang melanda Girilaya dan pasukan Javacekwara berasal dari mereka?" terka Raja Kumara. "Pihak musuh sudah mengetahui tujuanmu, bisa jadi upaya mereka adalah mencegahmu mendapatkan penawar sihir menular, juga Kembang Ing Segara. Kalau hal itu memang benar, maka Ratu Liharika juga patut diwaspadai mengingat dia menguasai ilmu hitam."

Kedua alis Anatari berjingkat. "Mereka juga menginginkan Kembang Ing Segara?"

"Benar. Tidak lama setelah kepergian kalian, ketiga orang itu datang. Mahesa, Jiera, dan pria bertopi caping."

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang