Bantengsoka dan Sagara melontarkan tubuh ke udara, mendarat pada dinding batu dan mulai memanjat. Para Pendekar Tersumpah mengikuti jejak keduanya. Lahar menerjang di sepanjang celah tanah yang menjadi jalur mereka. Bantengsoka menunduk ke dasar di mana teriakan-teriakan minta tolong saling bersahutan.
"Paman, cepat naik!" seru Sagara yang telah berada di puncak.
Sagara mengulurkan tangannya pada Bantengsoka yang merasa linglung barang sejenak. Dia tidak sampai hati melihat rekan-rekannya tersapu banjir lahar.
"Paman, raih tanganku! Cepat!"
Lahar kembali menerjang dalam gulungan lebih tinggi. Bantengsoka meraih tangan Sagara dan berhasil mendaratkan tubuhnya di samping pria muda itu. Bantengsoka merangkak mendekati bibir tebing, menatap banjir lahar yang menurutnya sangat tidak biasa.
Sagara berdiri di samping ketua Pendekar Tersumpah. "Bagaimana bisa? Bukankah tadi kita melihat banjir bandang lahar?"
Tujuh Pendekar Tersumpah yang selamat, ikut mengamati dari bibir tebing. Mereka pun terperangah dan bertanya-tanya melihat tanah telah menutup celah ngarai itu.
"Kita terkena halusinasi. Bukan lahar yang sesungguhnya datang menerjang, tapi tanah longsor," kata Bantengsoka.
"Banaspati," terka Sagara.
"Benar." Bantengsoka berdiri, memulihkan diri dari rasa terkejut juga kehilangan. "Kita lanjutkan perjalanan. Tinggal beberapa langkah lagi."
"Sendiko," jawab serentak ketujuh pendekar yang tersisa.
Di gurun pasir hitam di atas Celah Mrapen, Lembu Jalanatra dan Amuk Rekso berjibaku melawan burung nasar gaib yang telah menewaskan setengah pasukan Bhumi Girilaya. Bantengsoka dan Sagara yang baru saja tiba dikejutkan oleh makhluk buruk rupa yang tiba-tiba menghadang mereka.
"Di mana Abinawa?" tanya Lembu Jalanatra pada Sagara.
"Aku belum melihatnya," jawab Sagara.
"Dimas, aku serahkan pertarungan ini pada kalian," kata Lembu Jalanatra pada Amuk Rekso.
"Kau hendak ke mana, Kangmas?" tanya Amuk Rekso.
"Aku akan mencari Anatari."
"Tidak, Kangmas. Jangan lakukan!"
Lembu Jalanatra tidak mendengarkan. Bergegas menuju tepi tebing Celah Mrapen.
"Kangmas!" Amuk Rekso tidak dapat mencegah saudara tertuanya, sebab burung-burung menyebalkan itu terus menyerangnya.
Abinawa yang baru saja tiba langsung bergabung bersama Lembu Jalanatra.
"Cepat. Tidak ada waktu lagi," kata Lembu Jalanatra.
Abinawa hendak melompat ke dalam Celah Mrapen, tapi ditarik oleh Lembu Jalanatra. "Jangan gegabah. Kau bisa mati saat mencapai dasar celah."
"Ini adalah jalan tercepat menuju Anatari. Aku tidak akan memilih jalan memutar yang akan Paman sarankan." Abinawa langsung melompat begitu selesai berucap. Siluman elang segera mencengkram kedua bahu Abinawa. Mengantarnya ke dasar celah.
Lembu Jalanatra tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Pria itu melompat setelahnya tanpa ragu.
Abinawa mendarat dengan mulus di dasar celah yang sangat gelap. Siluman elang memekik dan terbakar. Tekanan energi raja iblis menimbulkan perasaan suram dan ketakutan yang luar biasa. Kegelapan yang begitu pekat menimbulkan ilusi bahwa Abinawa sedang menginjakkan kakinya di udara. Di dalam sebuah lubang hitam tak berdasar yang bergerak dan menariknya semakin tenggelam ke dalam kegelapan tanpa dasar. Bahkan manik emasnya tidak dapat menembus ke dalam kegelapan. Dia menutup kedua telinganya yang berdengung menyakitkan. Abinawa berkonsentrasi, mengedarkan energi spiritualnya ke seluruh jalur meridiannya untuk mengatasi ketidaknyamanan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)
Fantasía🍃Terimakasih WattpadFantasiID yang telah memilih PTDBJ masuk ke dalam Reading List January 2024🍃 🍃🍃🍃 Tujuh tahun telah berlalu, tetapi rumor tentang Anatari dan Abinawa masih saja berkembang. Anatari bangkit dari kematian untuk menjalankan kemb...