Chapter 43. Pertarungan Terakhir (4)

51 10 0
                                    

"Celah Mrapen adalah tempat yang sulit ditembus."

Sagara tidak memercayainya begitu saja. "Bukankah Kangmas pernah melakukannya dulu, dan berhasil?"

Abinawa mengembus napas pendek. "Alasan aku bisa memasuki tempat itu, karena Banaspati sudah mengetahui niat kedatanganku. Aku tidak yakin bila kali ini dia akan membiarkan kita memasuki rumahnya dengan niat untuk melenyapkannya. Kumara adalah penjaga utama di Celah Mrapen. Dia pasti tidak seorang diri."

"Adakah cara lain yang bisa kita gunakan untuk masuk ke tempat itu, tanpa menarik kecurigaan Banaspati?" tanya Sagara.

Abinawa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."

"Jawaban dari pertanyaan Sagara, tentu saja ada," kata Lembu Jalanatra.

Abinawa dan Sagara menoleh pada pria beruban keperakan itu.

"Bagaimana caranya, Paman?" tanya Abinawa.

"Kita bisa meminta bantuan Yang Mulia Ratu," jawab Lembu Jalanatra.

Abinawa menegakkan punggungnya. "Tidak bisa. Anatari tidak dalam kondisi yang baik. Aku tidak akan mengirimnya ke dalam bahaya."

"Yang Mulia Ratu adalah pengikut terpilih yang ditugaskan untuk membebaskan Banaspati. Kumara dan Mahesa, sekalipun mereka mampu, mereka tidak akan mau melakukannya. Kembalinya Yang Mulia Ratu ke Celah Mrapen tidak akan menarik kecurigaan berarti. Mereka akan sedikit lengah. Itulah waktu kita untuk menyusup," jelas Lembu Jalanatra.

"Tapi kenapa harus Anatari? Apa yang membuatnya menjadi pilihan utama Banaspati?" Abinawa melayangkan keberatan.

"Hanya Yang Mulia Ratu yang mengetahui jawabannya. Tapi, bila aku tidak salah menduga, kurasa ... sesuatu terjadi di Celah Mrapen pada tujuh tahun silam yang berujung pada kebangkitan Yang Mulia Ratu," terka Lembu Jalanatra.

Abinawa terdiam, memikirkan segala kemungkinan yang terjadi dan mengaitkannya pada kebebasan Anatari dari Celah Mrapen. Benar. Banaspati tidak mungkin membebaskan Anatari begitu saja tanpa ada harga yang harus dibayar Anatari. Bisa jadi, keduanya telah membuat perjanjian seperti dirinya dan Banaspati beberapa waktu sebelumnya. Atau mungkin, perjanjian yang mereka bertiga sepakati memiliki keterkaitan satu sama lain.

"Yuwaraja, bila Anda tidak keberatan, bisakah membicarakan hal ini dengan Yang Mulia Ratu?" mohon Sagara.

Abinawa tidak memberikan jawaban. Dia meneguk habis tehnya yang telah dingin dan lantas berpamitan.

Pria itu kembali ke kedaton Girilaya dengan setumpuk pemikiran yang mengganggunya. Wajahnya berkerut tidak senang memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang telah Anatari dan Banaspati sepakati. Tidak pernah ada perjanjian yang menguntungkan bila harus membuat kesepakatan dengan si raja iblis.

Abinawa menyusuri jalanan kuthanagara yang sepi, gelap, dan basah sehabis diguyur hujan. Hampir semua bangunan di wilayah kuthanagara telah rata dengan tanah, menyisakan tumpukan arang yang belum sempat dibersihkan. Dilihatnya beberapa pura yang masih tegak berdiri, disesaki para penduduk yang membutuhkan tempat bernaung. Mereka yang melihat Abinawa, menunduk, memberikan hormat.

Di ujung jalan, Geni sedang menyemburkan api pada tumpukan kayu basah. Beberapa penduduk pria berkerumun di dekatnya, menungggu api menyala. Geni menghampiri Abinawa setelah menyalakan api untuk mereka.

"Apa yang kau lakukan di luar selarut ini?" tanya Geni.

"Bagaimana denganmu sendiri?" Abinawa balik bertanya.

"Membuat api unggun agar mereka tidak mati kedinginan," jawab Geni.

Abinawa menghentikan langkahnya. Mempertimbangkan sesuatu. "Bisakah kau membuat api unggun untukku?"

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang