Chapter 8. Balin (2)

69 12 0
                                    

Abinawa menumbuk dedaunan di bale-bale kayu meranti di dalam kediaman yang dulu pernah ditempatinya saat masih tinggal di Balin. Begitu mendapat tekstur yang diinginkan, Abinawa mengeruk dedaunan yang telah lumat itu, memindahkannya ke dalam piring gerabah kecil. Kini dia menuju ke bagian belakang ruangan, tempat Anatari duduk bersandar di atas babragan.

Pria itu menyimpan wadah obat di samping Anatari, lalu menempatkan diri di tepi Babragan, berhadapan dengan Anatari yang mencoba untuk tidak menatap Abinawa. Begitupun sebaliknya.

Abinawa melirik Anatari yang menempatkan tangannya bersedekap di perut perempuan itu. "Aku harus mengoleskan obat sebelum semua cairannya menguap, menyisakan ampas yang mengering."

"Aku bisa melakukannya sendiri."

"Aku sudah cukup sering mendengar perkataan 'keras kepala' seperti itu. Pada akhirnya, tetap membutuhkan bantuan," kata Abinawa. Dia mengulurkan tangannya pada Anatari. "Kalau pekerjaanku berantakan, kau boleh menolak bantuanku."

Anatari melirik tangan Abinawa. Sepertinya tidak baik juga terlalu mempertahankan sikap malu-malu kucing. Tapi dia tidak ingin memberikan kesan 'mudah' pada pria itu. Apalagi ini pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah.

Abinawa menarik tangannya. "Baiklah." Dia mengangsurkan obat itu lebih dekat ke Anatari. "Lakukanlah sesuai keinginanmu."

Abinawa beralih ke ruangan depan, membereskan peralatan menumbuk dan sisa tanaman obat yang nanti akan dipakainya kembali. Dia menempatkan semuanya ke dalam nampan kayu, menyimpannya di sudut ruangan tempat semua peralatan makan dan minum ditata rapi di atas rak kayu.

Anatari menatap obat itu. Tangannya gemetar menyentuh bibir piring gerabah. Air mata menetes begitu saja.

Anatari memeluk tubuhnya sendiri. Menahan isakannya. Dia tidak menyadari betapa rindunya dia pada Abinawa, sampai akhirnya mereka bertatap muka. Anatari ingin memeluk pria itu, mengungkapkan kerinduan yang terpendam selama tujuh tahun. Tapi dia tidak bisa melakukannya, setelah apa yang terjadi pada keduanya. Kerinduan yang tak tertahan membuat hatinya sakit sebab tak bisa diungkapkan.

Abinawa berdiri dibalik gebyok partisi ruangan. Merasakan hal yang sama. Dia memalingkan wajahnya, memilih keluar ruangan.

***

Serangga malam mengusik indra pendengar Anatari. Perempuan itu terbangun di dalam ruangan berpencahayaan temaram. Kini Anatari sudah terbiasa melihat dalam keremangan cahaya, tidak seperti saat dirinya terbangun di dunia ini untuk pertama kalinya. Di mana semuanya terlihat lebih gelap dan buram di saat malam hari.

Anatari memasang tajam telinga. Berusaha menangkap bunyi sekecil dan serendah apapun yang mampu ditangkap oleh indra pendengarannya. Nihil. Suasana sunyi dan sepi. Dia menurunkan kedua kakinya, melangkah dengan waspada.

Abinawa tidak ada.

Pintu gebyok dibukanya hati-hati agar tidak menjerit, menarik banyak perhatian. Anatari melangkah keluar.

Semua orang sudah tidur.

Perempuan itu menengadah, mengawasi bintang-bintang yang hanya satu atau dua yang berkerlipan dibalik pawai awan.

Aku masih tidak mengerti cara menghitung waktu di dunia ini. Apa ini sudah mau pagi?

Hidung tajam dan mancung sedikit besar di bagian bawah, mulai menangkap keganjilan di udara. Anatari mengikuti aroma wangi yang menuntunnya memasuki bangunan dapur umum di belakang pemukiman penduduk.

Abinawa berada di sana, merapikan hasil masakannya ke dalam piring-piring gerabah berukuran sedang.

"Kau sudah bangun?" tanya Abinawa tanpa mengalihkan perhatiannya dari makanan yang sedang dirapikannya.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang