Chapter 7. Balin (1)

70 11 0
                                    

Seorang pria bertubuh pendek dan gemuk melangkah ke dalam keramaian. Janggut putih ikal menjuntai menutupi perut buncitnya. Dua orang pria lebih muda beberapa tahun dan memiliki postur tubuh yang berkebalikan dengan si pria bertubuh pendek, mengikuti dari belakang layaknya seorang pengawal kerajaan.

Keramaian terhenti. Para penduduk desa menepi, mengosongkan jalan yang mengarahkan pria itu langsung ke Abinawa.

Abinawa menegakkan punggungnya, lantas memberikan hormat bersama Wiba dan Tambir.

"Guru Abinawa." Suara pria itu dalam dan berat. "Senang bisa melihatmu berkunjung ke Balin."

"Begitupun saya, merasa terhormat atas penyambutan kalian yang selalu hangat," ungkap Abinawa.

"Mari, Guru. Kita bicara di dalam," ajak pria itu.

"Terimakasih, Panglima Najandra."

Abinawa berpaling pada Wiba dan Tambir. "Kalian bagikanlah kitab-kitab ini pada anak-anak." Abinawa melirik sekilas ke arah bangunan yang memiliki ukuran lebar dua hasta dan panjang empat hasta.

Wiba dan Tambir mengangguk, memahami isyarat Abinawa. "Baik," jawab keduanya.

Abinawa mengikuti Najandra memasuki bangunan kayu yang terletak di tengah-tengah pemukiman.

Wiba dan Tambir menggiring anak-anak dan para penduduk mendekati rumah pimpinan mereka, membagikan kitab-kitab itu dan meminta mereka membacanya bersama-sama. Tambir menoleh pada seorang ayah yang memangku putri kecilnya.

"Di mana letak pakiwan-nya?" tanya Tambir.

"Di belakang area gudang kayu dan jerami. Di sana ada kandang kambing, ayam, juga sapi--"

"Di sebelah kandang-kandang itu."

"Bukan. Dari kandang kambing sebelum kandang sapi, belok ke sebelah kiri. Jalan terus menuju ke arah kali."

"Jadi di kali?"

"Bukan. Sebelum kali, di belakang kandang sapi."

Tambir mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala. "Terimakasih atas petunjuknya yang ringkas." Tambir bergegas ke arah berbelit yang dipaparkan pria itu.

Tambir menyusuri jalan sepi di belakang rumah penduduk. Dia melirik gudang jerami yang berada di sudut, terpisah dari rumah-rumah penduduk. Melewati kandang ayam, kambing dan berbelok ke sebelah kiri. Namun, dia berbelok ke arah berlawanan dengan kali. Tambir kembali menuju pemukiman melalui jalan belakang gudang kayu yang sepi.

Tambir mengamati bangunan gudang jerami yang tidak memiliki celah lubang udara. Dengan memanfaatkan ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya, Tambir berhasil mencapai atap gudang kayu yang terbuat dari genteng tanah liat. Satu genteng dicabutnya dengan hati-hati.

Anatari yang merasakan debu-debu berjatuhan menimpa bagian depan tubuhnya, refleks mendongak.

"Gusti Kangjeng Ratu," panggil Tambir dengan nada pelan.

"Kau memanggilku?" Anatari tidak begitu jelas melihat wajah seseorang yang mengintipnya dari celah genteng. Terlalu gelap di dalam ruang sempit itu.

"Kangjeng Ratu, ini hamba. Tambir."

Anatari tertawa lega. "Kau masih hidup? Bagaimana dengan Wiba?"

"Kami berdua selamat, Kangjeng Ratu. Kangmas Abinawa ada di sini. Kami akan menyelamatkan Anda. Harap bersabar sedikit lagi," tutur Tambir. "Kangjeng Ratu, apa ada yang Anda inginkan? Hamba akan membawakannya."

"Bawakan saja kebebasanku. Itu sudah lebih dari cukup," jawab Anatari.

"Baiklah. Hamba akan kembali lagi nanti."

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang