Chapter 38. Bhumi Javacekwara (5)

64 12 0
                                    

Prajurit Bhumi Javacekwara menggiring prajurit Bhumi Namaini ke lumbung padi yang sebelumnya telah dikosongkan. Sisa dari pasukan lawan terlibat pertarungan melawan penduduk juga prajurit Bhumi Javacekwara.

Beberapa regu pasukan Bhumi Javacekwara bersiaga di halaman depan kedaton yang luas. Pakaian perang mereka kenakan, lengkap dengan baju baja bagi panglima tertinggi. Waju rante bagi perwira ksatria menengah. Dan karambalangan bagi prajurit biasa. Persenjataan mereka pun lengkap: tombak panjang bermata tiga, panah, pedang pendek, dan keris.

Para pembela nagari garda depan itu berdiri rapi di balik pintu gapura utama lingkungan kedaton. Mata mereka menutup, nampak tidur dalam keadaan tenang.

Di dalam Pendopo Ageng, Partha menemani Mahesa yang duduk tegap di kursi takhtanya.

"Bagaimana keadaan di luar?" tanya Mahesa, tenang dan berwibawa.

"Tekanan pada pihak kita terjadi di banyak tempat. Pasukan Javacekwara telah banyak yang berkhianat dan membantu Abinawa. Kaum pria Javacekwara tidak melarikan diri seperti yang lainnya. Mereka ikut menyerang pasukan Namaini yang tersisa. Bila Sri Baginda tidak segera mengambil tindakan, takutnya ... kita tidak akan bertahan lebih lama lagi," lapor Partha.

"Anatari?"

"Anatari dan Abinawa berhasil masuk ke ruang tahanan raja terdahulu," lapor Partha.

Mahesa menghela napas dalam. "Akhirnya Abinawa bisa melepas rindu pada kedua orang tuanya."

Partha memberikan hormatnya. "Sri Baginda, mengingat Abinawa telah menemukan keberadaan kedua orang tuanya, maka kita harus bersiap. Dia pasti akan mencari Anda. Hamba siap menerima perintah untuk menghadapinya."

"Kumara pernah memberitahuku bahwa di dalam diri Abinawa bersemayam Kembang Ing Segara. Itu menandakan kesaktiannya telah berlipat ganda. Terlebih, kini dia menjadi tuan dari siluman harimau yang dahulunya merupakan tangan kanan Banaspati," jelas Mahesa, menyembunyikan kegusarannya.

"Dia juga bisa memerintahkan para siluman untuk membentuk pasukan. Kau jelas bukan tandingannya. Jangan khawatir, aku sudah memikirkan satu rencana agar dia mati di tangan Banaspati." Mahesa bangkit dari kursi takhta. "Nampaknya aku sendiri yang harus pergi menyambut Adikku."

Di jalanan sempit di pinggiran tebing, Anatari dan Abinawa berpapasan dengan Taruna yang berdiri di tepi jurang, menatap dalam kehampaan, jauh ke dasar yang gelap tempat dia beberapa waktu lalu pergi.

"Taruna."

Taruna menoleh ke arah Abinawa yang memanggilnya.

"Mereka sudah tewas. Hanya menyisakan tulang belulang, dan kesadaran yang mereka titipkan pada sebatang pohon, yang dipupuk dari tubuh mereka yang telah membusuk," ucap Taruna, datar.

Abinawa ikut memandang ke kejauhan yang diselimuti kegelapan malam. "Ada berapa dari mereka yang telah menjadi korban?"

"Hamba menemukan tujuh orang yang merupakan para ksatria tangguh yang senantiasa memimpin peperangan dengan gagah berani." Taruna menunduk, manik hitamnya layu dan air mukanya tampak mendung. "Mereka semua adalah yang selama ini setia kepada Sri Maharaja."

Abinawa mengalihkan pandangannya pada Taruna. "Kau sudah memberikan penghormatan terakhir yang layak bagi mereka?"

Taruna mengangkat kepalanya. "Sudah, Kangmas. Hamba sudah mengkremasinya. Juga melarung abu agar jiwa mereka tak lagi tersiksa."

Abinawa mengangguk. "Pesan apa yang mereka sampaikan padamu?"

"Kebebasan dan kedamaian. Itulah yang mereka harapkan selama ini," ucap Taruna.

(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang