Anatari memeluk Abinawa yang tertidur di pangkuannya di dalam kereta kuda yang bergerak keluar dari wilayah Balin. Pria itu tertidur dengan pulas setelah memuntahkan semua tuak yang diminumnya.
Anatari mengamati setiap lekuk wajah Abinawa. Kulitnya terlihat satu tingkat lebih gelap dari yang terakhir kali Anatari ingat. Garis rahangnya lembut. Jemari Anatari menyentuh gelungan rambut Abinawa, turun ke dahinya, menyusuri lekuk hidung, Anatari terdiam. Jarinya mengambang di atas bibir Abinawa.
Anatari menundukkan kepalanya, mengangkat alisnya, dan seulas senyum tercipta di bibirnya yang merapat.
"Setelah lama terpisah, aku tidak tahu harus memulai dari mana hubungan di antara kita. Teman. Orang asing yang memendam kerinduan. Sepasang kekasih yang memendam sakit hati. Ataukah-" Anatari menghentikan ucapannya. Tangannya gemetar diantara keraguan dan kehendaknya untuk menyentuh wajah Abinawa. "Aku tidak bisa berpura-pura telah melupakan hubungan yang pernah terjalin di antara kita. Tapi sekarang, aku tidak memiliki gambaran akan seperti apa hubungan kita terjalin ke depannya? Dan bagaimana akhir yang kita dapatkan dari menentang takdir? Apapun yang akan terjadi, bagaimanapun akhirnya, aku berharap kita tidak terpisah."
"Itu tidak akan pernah terjadi!"
Anatari mendongak mendengar seruan Tambir yang duduk di luar, mengendalikan tali kekang kuda.
"Kau yakin sekali hal itu tidak akan terjadi padamu," ledek Wiba.
"Aku tidak mau berakhir seperti itu. Melihat kenyataan bagaimana seorang prajurit terhormat berakhir menjadi seorang pria yang memiliki kelebihan berat badan yang kesehariannya cuma duduk diam serta makan dan minum tuak ... aku tidak mau hidupku berakhir seperti itu," tutur Tambir.
"Mereka tidak memiliki pilihan, Dimas. Keadaan yang membuat mereka jatuh dalam keterpurukan," ujar Wiba, lebih kalem.
"Di saat tidak ada pilihan, aku akan membuat pilihanku sendiri. Mati secara terhormat adalah pilihanku," tegas Tambir.
Wiba menatap bumantara yang mulai mendung. "Lebih baik mati secara terhormat daripada menyerah pada musuh. Itulah prinsip kita, para prajurit." Intonasi suara Wiba terdengar bangga, tapi juga ada kesedihan di dalamnya.
Hening melanda keempatnya. Kereta yang mereka tumpangi menembus angin kencang di tengah kepungan tanaman padi yang sudah memasuki umur panen. Anatari mengintip keluar dari balik tirai jendela. Kawanan burung pipit terbang rendah dan berisik, mengitari tanaman padi yang menguning.
Abinawa bergumam, menggeliat di atas pangkuan Anatari. Kedua mata bertemu tatap. Anatari memundurkan badannya saat pria itu bangun agar keduanya terhindar dari benturan.
Abinawa duduk di samping Anatari. "Apa aku merepotkan?"
"Hanya saat kau muntah."
Abinawa menunduk, tersenyum malu. "Maaf sudah merepotkanmu."
"Tidak masalah." Anatari mengawasi Abinawa yang memegangi perut sebelah kanannya. "Kita akan menuju ke mana?"
Abinawa membenahi posisi duduknya. "Javacekwara."
Kedua alis Anatari meninggi. "Untuk apa pergi ke sana?"
"Aku harus mendatangi suatu tempat."
"Kalau begitu kita berpisah di sini saja."
"Kau tetap bersamaku." Kekhawatiran terdengar dalam suara Abinawa.
"Tujuan kita berbeda, Abinawa," tegas Anatari. "Tambir, hentikan laju kereta!"
Anatari bergegas turun, tapi Abinawa berhasil menangkap pergelangan tangan Anatari. "Katakan ke mana tujuanmu?"
"Ke tempat yang bisa membantuku menguasai singgasana Girilaya," kata Anatari.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Book 2) Pertarungan Terakhir di Bhumi Javacekwara (END)
Fantasy🍃Terimakasih WattpadFantasiID yang telah memilih PTDBJ masuk ke dalam Reading List January 2024🍃 🍃🍃🍃 Tujuh tahun telah berlalu, tetapi rumor tentang Anatari dan Abinawa masih saja berkembang. Anatari bangkit dari kematian untuk menjalankan kemb...