๑ 18 ๑

472 52 7
                                    

"Untuk apa datang ke lapangan kalau cuma melamun? Bukannya kamu benci olahraga? Tumben ikut menonton, sebelumnya tidak pernah." Handuk kecil berisi kubus es kecil terus ditekan pelan-pelan ke dahi Sasuke yang sudah pasti akan memar. Gadis itu enggan menyahut, sedikit tak nyaman dengan posisi mereka sekarang di mana si Uzumaki berada sangat dekat dengannya. Sedang, dia mati-matian mengendalikan detak jantung agar tidak ketahuan. "Mulutmu masih bisa bicara 'kan, Sas? Kenapa enggak dijawab?"

"Bukan urusan kamu." Inginnya ketus. Namun, cukup sadar bahwa pemuda di hadapannya ini tengah membantu mengobati lukanya.

"Maunya begitu. Tapi, karena terlukanya kamu gara-gara temanku, aku terpaksa bertanggung jawab dan juga demi menghargai pertemananku sama bang Ita."

Memangnya Sasuke mengharap apa atas semua perlakuan baik Naruto? Dia tetap akan mengingat seburuk apa sosoknya di mata si Uzumaki, benar 'kan? Toh perilakunya sendiri yang menyebabkan pemuda ini menyimpan penilaian negatif. Lalu, dia mendengkus pasrah. Berangsur-angsur mulai tak rela dipandang jelek terus.

"Cuma penasaran, bang Ita selalu antusias pas cerita di rumah."

"Jadi?!"

"Apanya?" Sejemang, Sasuke merasakan tubuhnya bagai tersengat arus listrik. Hanya sentuhan samar di keningnya oleh jemari Naruto.

"Kasih tanda kalau sakit, ya," kata si Uzumaki selagi meraba sekitar dahi Sasuke yang memerah.

"Ssh ..."

"Sebentar, aku ambil dulu salepnya." Itu ada di kotak P3K berukuran besar di depan mereka. "Seharian ini bakal kelihatan sedikit benjolannya, lebih ke memerahnya sih yang bikin mencolok--mau ditempel kompres? Ya, jika semisal kamu malu dilihat orang."

"Tambah aneh juga 'kan kalau dikompres?"

"Tergantung. Senyamannya kamu, Sas."

"Kenapa kamu baik ke aku?"

"Loh, harus banget ya ada alasannya?!"

"Tidak juga. Tapi, berhubung kamu benci aku jadi rasanya agak--"

"Saat ini aku enggak punya alasan untuk berbuat kayak tuduhan kamu." Sasuke yang disebut meringis dalam hati, menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan sikap ketus Naruto akan berulang dia terima. "Lagi pula, aku enggak benci sama kamu, kok. Kalau risi iya--" Dan sekali lagi Sasuke hendak mencelupkan kepalanya ke dalam ember berisi air dingin. "Risi dengan kelakuan kamu yang seenaknya, main terobos enggak memikirkan tempat. Apa semua anak populer menyebalkan serupa kamu?!" Sasuke menengok lekas, menunjukkan kusut di mukanya. Jelas sekali dia tidak suka dipojokkan. "Aku rasa tidak--kening kamu sudah diobati. Aku mau balik ke lapangan buat membereskan barang, enggak apa-apa aku tinggal? Paling bang Ita bakal menyusul kemari."

"Terima kasih," tanggapnya sambil membuang muka. Entah kenapa hatinya seakan diaduk-aduk saat ini. Marah, kepikiran, malu, semuanya bercampur menggoda pertahanan. Meskipun, Sasuke tak tahu apa sebabnya.

"Kamu enggak usah ke bengkel dulu. Anak-anak pasti kepo sama jidat kamu. Datang lagi setelah memarnya mengempes." Naruto melenggang keluar,  bertepatan seorang petugas kesehatan masuk dan menyapa Sasuke.

"Keningmu kenapa?"

"Kena bola di lapangan tenis."

"Ehm, sudah dikasi salep 'kan?"

"Iya, temanku yang berikan."

"Si Uzumaki tadi?"

"Kamu kenal dia?!"

Si petugas mengernyit heran, apa pengakuannya salah?! "Siapa sih yang tidak kenal Naruto Uzumaki?"

"Kamu teman sekelas, sejurusan?"

"Tidak dua-duanya. Apa kamu pacar si Uzumaki?"

"Hah?! Ehm, bukan, bukan!"

"Terus, kenapa kamu menatapku begitu?"

"Kenapa dengan tatapan aku?!"

"Kek ada tuntuntan apa dan aku enggak paham."

"Ah, kamu salah duga. Aku cuma heran pas kamu bilang kenal Naruto, tapi bukan teman sekelas atau sejurusan."

"Astaga," si petugas tertawa. "Lucu, ya kamu--Uzumaki 'kan populer di kampus ini. Aku tanya deh, memang kamu enggak tertarik sama dia?!" Si petugas bersedekap.

"Enggak!" Dan si petugas klinik makin tertawa.

"Ternyata kamu betulan lucu."

"Di mana letak lucunya, biasa saja padahal."

Masih menampakkan senyum lebar di bibirnya si petugas menuturkan, "Pertama, kamu terkejut cuma karena aku kenal si Uzumaki, satu kampus juga mungkin sudah tahu dia siapa. Yang kedua, kamu menebak-nebak aku teman sekelas atau sejurusan dia. Kamu lihat sendiri 'kan seragamku? Masa aku di  teknik mesin? Dari segi apa klinik ini mirip bengkel?" Di situ juga Sasuke mendadak kikuk. "Kamu sekian dari minoritas yang enggak tahu tentang si Uzumaki, dia memang sepopuler itu--aku Tamae."

"Sasuke Uchiha."

"Ah, jadi kamu cewek idola teman-teman cowok di kelasku?! Lumayan sih, tapi enggak segitu wow yang diduga."  Detik berikutnya panas merambat naik ke puncak ubun-ubun Sasuke. Dia mengentak bangkit, melangkah geram meninggalkan klinik, melupakan niat semula untuk menunggu abangnya.

-----


HOT GARAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang