๑ 24 ๑

377 39 35
                                    

"Kok bisa, Itachi?! Jelaskan sama Mama, ini bagaimana ceritanya sampai kecelakaan itu terjadi?"

"Aku enggak tahu, Ma." Jelas sudah mereka semua panik, tanpa terkecuali Tuan Fugaku. Pria baya itu terlihat bingung dan cemas, meski dia tak mahir mengutarakan perasaannya sendiri. "Mama dan Papa tunggu di rumah. Aku bakal kasih kabar secepatnya begitu tiba di lokasi. Ini benaran buru-buru sekali. Kata yang melapor, kondisi Naruto lumayan parah. Dia pingsan, Ma."

"Sasuke, adik kamu baik-baik saja 'kan?"

"Pengakuan si pelapor sih demikian. Mereka cuma bilang keningnya berdarah karena benturan-masalahnya dia menangis di sana. Takut banget kayaknya, Ma."

"Astaga, Sasuke. Kamu susul deh sekarang. Mama khawatir, Itachi. Pantas saja dia enggak menghubungi kita."

"Mungkin dia shock-aku berangkat, ya," katanya jangka selesai mengenakan sepatu. "Mama sama Papa langsung ke rumah sakit saja setelah alamatnya aku beri tahu." Tuan Fugaku mengangguk cepat seiring tarikan napasnya terbuang berat. Pria tua ini sulit mencegah pikiran buruk yang menghantuinya.

"Oh Tuhan..."

"Ayo, masuk! Kita juga perlu bersiap-siap supaya tidak mengulur waktu. Kamu pakai baju yang tebal, cuacanya sangat dingin," seru Tuan Fugaku sembari dia mendahului istrinya.

Di lokasi berbeda, Sasuke masih terus menangis senyap. Orang-orang tidak ada yang berani menyentuh bahkan mengeluarkan Naruto dari mobil. Mereka mewaspadai luka-luka pada tubuh bagian dalam pemuda itu. Berujung Sasuke sekadar mengamati dari jarak sekian meter, sambil meratapi situasi yang tengah mereka hadapi. Saking bimbangnya dia praktis seperti kehilangan kepercayaan diri.

"Kasihan sekali. Dia tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi, harus segera ditolong."

"Kurasa lengan dan kakinya terluka parah. Bagian depan mobil itu penyok, aku sudah memeriksanya tadi."

Dua orang warga terdengar mengobrol, tak jauh dari tempat Sasuke berdiri. Mereka tiada menyadari dampak yang ditimbulkan oleh percakapan tersebut hanya memancing kegelisahan si gadis Uchiha kian meningkat. Dia terus mengusap setiap kali air matanya mengalir, kendati tak seorangpun di sana memahami kegundahannya. Ketika ditanya dia cukup menggeleng pula mengangguk, enggan menanggapi lewat kata-kata. Sehingga orang-orang turut sungkan untuk berinteraksi dengannya.

Lebih seperempat jam mobil ambulans, petugas kepolisian serta tak disangka-sangka Itachi juga datang serempak ke area di mana insiden terjadi. Dia tergesa-gesa menepikan mobil, beranjak turun guna mencari keberadaan adiknya. Puncak kegusaran menepi bertepatan dia menemukan Sasuke berdiri di antara beberapa petugas medis yang tengah hati-hati memindahkan tubuh si Uzumaki ke atas tandu untuk lalu dinaikkan ke ambulans.

"Sasuke-" tegur Itachi sambil menghampiri adiknya. Namun, tangis senyap Sasuke menyebabkan keningnya berkerut tajam. "Kenapa? Apa yang sakit? Kita juga harus bergegas, mama dan papa sangat khawatir."

"Ada mobil yang sengaja menabraknya. Ini bukan salah Naruto. Aku melihat mobil sedan itu muncul entah dari mana. Dia sengaja mengemudi pelan-pelan karena seseorang menelepon."

"Kau yakin?"

"Aku tidak mungkin salah, sedan putih."

"Kamu melihat nomor platnya."

"Tidak, aku tidak tahu. Kejadiannya terlalu cepat. Kami berdua kaget, kemudian aku mendengar teriakannya sebelum suara dentuman dan guncangan menghentikan semuanya." Dalam keadaan terbata-bata, si gadis Uchiha berupaya memaparkan peristiwa itu secara rinci sesuai ingatannya.

"Sudah, sekarang aman. Naruto juga pasti selamat. Kita bahas ceritamu ini nanti setelah kondisi dia membaik. Dialah yang perlu kita cemaskan, apa katanya jika tahu bahwa dia gagal mengikuti pertandingan besok?!"

-----

Pagi ini menyapa seumpama penanda bahwa sehari semalaman penuh mereka bersama-sama merasakan luapan pikiran buruk. Uzumaki Naruto terpaksa menjalani proses operasi akibat patah tulang cukup parah pada lengannya. Kecelakaan kemarin tak ayal merampas perjuangannya selama berbulan-bulan di lapangan tenis. Pemuda ini puas menelan kekecewaan untuk musibah yang menimpa dia, masih tersenyum memperlihatkan sisi terbaik demi mendamaikan hati semua orang. Nihil membagi keterkejutannya, walau diam-diam dia memendam luka lebih besar.

"Lihat apa akibatnya bila kamu tidak mengerem mulutmu yang ceplas-ceplos itu?! Sejak awal Mama melarang. Tapi, kamu lagi-lagi membantah, Saara." Kushina betul-betul diambang kesabarannya. Murung kentara menghiasi wajah yang biasa selalu tampak cantik. Dia memalingkan muka dari anak bungsunya, menahan gejolak amarah yang siaga tumpah kapan saja.

"Ma, jangan memarahi Saara terus. Kecelakaan ini murni kehendak takdir, Ma. Tidak etis kalau dalam suasana begini Mama justru memojokkannya."

"Bela saja adikmu yang nakal ini! Lama-lama dia sungguhan jadi anak pembangkang. Apa salahnya mendengar perkataan ibumu sendiri."

"Mama-jika Mama mau mendengar kejujuranku, aku tidak keberatan atas pertunangan Nagato dan Konan. Aku lelah menunggu sesuatu yang memang tidak digariskan untukku. Biarkan mereka bahagia." Kushina menengok, memperhatikan putra sulungnya lamat-lamat tanpa sepatahpun kata tanggapan. "Bisa 'kan Mama tidak menyalahkan Saara? Tidak enak dilihat orang, Ma. Kita jadi bahan tontonan."

"Nana, lengan kamu patah. Otomatis kamu tidak bisa bermain tenis lagi sampai waktu yang belum ditetapkan. Pertandingan kamu batal. Bagaimana mungkin Mama tidak melibatkan kelalaian adikmu di sini? Mama tahu kamu mencintai Konan seperti apa." Si Uzumaki merunduk, menyimak bait-bait kalimat ibunya.

"Aku memang kaget. Tapi, bukan berarti aku jadi semberono menyetir, Ma. Aku tidak tahu dari mana jalur mobil yang menabrak kami. Aku sudah coba memikirkan ulang dan masih sama bingungnya, hanya yakin bahwa pelaku penabrakan itu mendadak ada di depanku."

"Maaf, Ibu. Sebaiknya pasien tidak mengalami tekanan. Bekas operasinya masih baru, jangan sampai beban di kepala memengaruhi syaraf-syarafnya."

"Ya ampun, ini kesalahan saya. Maaf suster." Si Uzumaki terlihat mendesah rendah beriringan adiknya mengusap sisa-sisa air mata. Sementara, perawat itu berkunjung untuk mengecek botol infus.

"Agar pasien segera pulih, alangkah bagus jika keluarga memberinya dorongan semangat, ibu."

"Ah, begitu, ya. Saya mengerti. Terima kasih, suster."

"Sama-sama, ibu." Si perawat lantas menyingkir usai mengganti botol infus.

"Ma, apa sebelumnya mama bertemu Sasuke?"

"Sasuke?"

"Gadis yang kemarin menemaniku di sini. Kepalanya ditempeli perban karena terluka. Dia bersamaku di mobil saat kecelakaan tempo hari."

"Yang cantik itu? Rambutnya hitam panjang dan hidungnya mancung, ya?"

"Mama lihat?"

"Dia pergi setelah Mama datang. Dia siapa, Na? Jangan-jangan dia gadis yang pernah dibicarakan teman-temanmu di bengkel, susah dijinakkan." Seketika si Uzumaki mengerang pasrah akan daya ingat super ibunya ini. "Dia pamit pulang ke Mama, bilangnya bakal datang lagi-pacar kamu?!"

"Teman, Ma."

"Teman dekat?!"

"Aku enggak tahu."

"Teman biasa mustahil segitu leluasanya ke kamu. Mama enggak sengaja pergoki dia tidur duduk sambil pegang tangan kamu." Samar-samar pipi si Uzumaki memanas. "Kayaknya dia habis menangis, matanya bengkak."

"Aku belum lihat dia sejak kemarin."

"Tidak bakalan juga. Kamu saja sadarnya baru pagi ini. Semalam operasinya lumayan lama. Tidak ada yang diizinkan masuk buat menemui kamu, Mama dan Saara juga terpaksa balik ke bengkel kamu-belum lihat, tapi kamu tahu kepalanya diperban."

"Samar-samar, Ma. Kemarin aku rasanya sempat bangun sebentar. Cuma enggak kuat, badanku semua sakit." Kemudian, Kushina tersenyum lapang dini dia mengusap-usap kaki putranya ini.

-----

Taqabbalallahu minna wa minkum
Selamat hari raya idul fitri buat kalian yang juga merayakan, ya...







HOT GARAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang