๑ 25.⁷๑

258 30 44
                                    

Sasuke menyadari hatinya lega serta menggelitik. Belakangan dia tidak berhenti berdebar-debar. Naruto kelewat vocal dalam memperlihatkan afeksinya, bahkan di depan keluarga besar Uzumaki. Tak pelak kenyataan itu menyebabkan Sasuke berada di awang-awang, bangga dan menyenangkan diinginkan segitu sungguh. Meski tadi dia menelan kejengkelan oleh tindakan Karin yang terkesan menjelekkan imejnya, semua terdengar seperti angin lalu.

"Ra, Sasuke biar pergi bareng Abang. Kebenaran Abang juga kepingin makan ramen, sudah lama enggak pulang jadi makin rindu rasanya."

"Bilang saja mau kencan. Ribet betul alasan Abang."

Atas inisiatifnya sendiri, Saara berencana mengajak Sasuke ke kedai ramen terbaik di sana. Namun, baru keduanya berada di bingkai pintu, Naruto lantas menginterupsi pergerakan mereka.

"Serius. Abang niatnya memang mau makan ramen."

Saara mengerang maklum, terdengar cukup panjang embusan napasnya. "Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Saara balik ke dalam. Sampai nanti, Kak. Saara di kamar ya kalau nanti Kakak butuh teman mengobrol."

"Terima kasih ya, Ra."

"My pleasure, Kak Ipar." Disebut seperti itu tentu bikin rongga dada Sasuke berbunga-bunga. Senang sekali mendapat reaksi positif dari keluarga si Uzumaki, terutama ibu dan adiknya.

"Mau jalan kaki atau kita naik mobil?" Pertanyaan Naruto menginterupsi ketika tatapannya masih mengawasi kepergian Saara.

"Jauh?"

"Tergantung mood kamu."

"Maksudnya?"

"Terasa jauh semisal kamu bukan dalam kondisi yang fit dan semangat buat jalan santai. Panoramanya bagus, cocok banget buat memanjakan mata. Cuma, aku tahu kondisi kamu kurang stabil. So, jip lagi?"

"Ehm ..." Sasuke tampak berpikir sejenak sebelum, "Makan waktu berapa lama kalau kita jalan?"

"Kira-kira sejam pulang balik."

"Lumayan sih itu. Aku enggak bisa tebak mood aku entar bagaimana. Takutnya lari dari ekspektasi aku. Mending jip enggak, sih?"

"Terserah mana baiknya, aku ikut pilihan kamu."

"Jip deh. Tapi, gasnya santai biar bisa sekain menikmati pemandangan sekeliling."

"Sure! Kamu tunggu di depan, aku ambil kunci sebentar." Sasuke mengangguk sebelum dia mengayun langkah ke halaman di mana mobil Jip si Uzumaki diparkirkan. Tanpa dia menyadari Karin sudah menyusulnya di belakang, berjalan pongah sambil melipat lengan-lengannya ke dada.

"Tumben kamu nekat ke sini?! Pertama kalinya 'kan? Kalau enggak salah, kamu belum pernah sedekat ini dengan keluarga pacar-pacar kamu terdahulu."

Dalam keterkejutannya Sasuke berusaha calm down. Entah kenapa dia merasakan Karin bertambah sinis setelah pertengkaran mereka tempo hari. Daripada merusak suasana, Sasuke putuskan untuk mengalah dan tetap berpikiran baik.

"Karin, kamu juga sebenarnya tahu 'kan hubunganku sama mereka hanya sampai di pendekatan. Enggak pernah ada yang berlanjut karena papa ataupun bang Ita selalu skeptis."

"Ya, ya, apalah itu bukan urusan aku—dan, sekarang kamu besar kepala dong? Bangga pasti bisa menempel serapat ini dengan Nana? Apalagi dia bintangnya kampus dari dulu. Kamu doang yang munafik berlagak denial sama daya tariknya." Kelihatan Karin sengaja menekankan kalimat terakhirnya.

"Mau kamu apa sih, Rin? Dari kemarin kamu memang niatnya memanas-manasi aku 'kan? Aku heran sama kamu. Enggak pernah-pernahnya kamu defensif ke aku. Terus tiba-tiba kayak begini. Salah aku apa, sih? Bilang sini, jelaskan sama aku. Jangan kamu kira cuma kamu yang bisa marah, Rin! Aku juga punya limit kesabaran sekalipun harus di sini."

"Kamu tanya apa salah kamu? Yakin kamu mau tahu?!"

"Ya bilang mangkanya. Selama ini aku enggak membatasi kita bertiga untuk saling terbuka, terutama soal keluhan masing-masing."

"Oh, bagus kalau begitu. Aku harap kamu tidak mengelak dari fakta. Aku bisa saja meluruskan permasalahan ini berdua dengan kamu. Nanti sore kita ke bukit terdekat, buktikan loyalitas kamu untuk pertemanan kita. Aku cuma mau kamu mengakui semua kesalahan kamu. Tapi, ingat! Aku enggak memaksa, Sas. Aku paham kok segede apa harga diri kamu—satu lagi, jangan jadi pengecut! Selesaikan sendiri." Percakapan sedikit tegang itu berujung dengan seringai sinis oleh Karin. Dia meninggalkan Sasuke di situ bersama tanda tanya serta kekesalan.

"Hei. Jangan melamun, Sas!" Saking fokusnya mencerna perkataan Karin semula, Sasuke sampai mengabaikan kehadiran si Uzumaki. "Naik, Sas!" Bahkan Naruto sudah duduk di kursi kemudi disusul Sasuke buru-buru masuk.

Di depan pintu Karin masih setia mengamati sejoli tadi. Gadis ini memperhatikan lewat binar tajam di matanya. Tak ada yang tahu isi pikirannya sebab dia pandai menutupi, "Rin, bibi cari ke kamar Saara ternyata di sini. Kamu lihat apa?"

"Enggak ada, Bi. Aku sempat bicara sama Sasuke sebelum mereka pergi."

"Oh, Bibi sudah pesan ke Nana supaya tidak berlama-lama di luar. Banyak sekali yang mau dipersiapkan. Takutnya tiba-tiba butuh apa dan enggak ada bisa diharapkan."

"Bibi enggak usah khawatir. Aku kemari juga 'kan buat bantu-bantu."

"Iya, Bibi tahu kamu sangat perduli terhadap keluarga besar kita. Ya sudah, bantu Bibi menata bunga-bunga, ya. Kamu bisa ke kamar Saara jika tidak keberatan."

"Tentu, Bi. Aku ke sana dulu, ya. Bibi jangan terlalu cape. Panggil aku saja andai diperlukan." Mereka benar-benar sibuk di hari itu, kemungkinan juga untuk hari-hari berikutnya hingga acara pernikahan selesai.

-----

"Sasuke ..." Sengatan ringan tetap memberi efek yang hebat. Si empu nama tersentak, kontan menengok ketika jemarinya diraup dan digenggam erat si Uzumaki. "Pikiran kamu ke mana? Enggak nyaman di rumah aku?"

"Enggak kok, aku suka rumah kamu. Keluarga kamu juga friendly ke aku."

"Itu termenungnya karena apa? Kita sudah setengah jalan, Sas dan kamu cuma diam dari tadi. Aku coba buka topik, kamu no respons. Ditanya ulang pasti kamu bingung, aku yakin kamu enggak simak ucapan aku."

"Maaf ya, Nar. Kedatangan aku bukannya buat kamu happy, malah menambah pikiran." Genggaman berubah menjadi tautan kencang di sela-sela jemari mereka. Sasuke juga ingin Naruto dapat merasakan afeksinya, dia enggan perasaan di antara mereka dianggap sepihak bagi satu sama lain. "Harusnya enggak usah ajak aku, Nar. Aku enggak ada bakat buat menyenangkan orang, tahunya membebani terus."

"Kalau ada apa-apa cerita. Enggak bagus disimpan sendirian, Sas. Belum tentu aku bisa bantu, tapi setidaknya kamu bisa memposisikan aku dengan tepat. Aku bukan sekadar teman lagi buat kamu 'kan? Hubungan kita makin dekat kan, Sas? Aku simpulkan sambutan kamu sebagai tanda terima dan setuju."

Embusan napas Sasuke berembus perlahan-lahan, bisa saja dia sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pengakuan. "Nar, kamu enggak tersinggung  setelah dengar pengaduan Karin? Aku pernah benci banget ke kamu, Nar. Seperti yang karin bilang aku sering mengolok-olok kamu di hadapan mereka. Aku sama sekali enggak tahu kamu dan Karin sepupuan. Dia juga enggak menunjukkan perlawanan. Aku betulan malu kalau mengingat-ingat kejadian itu. Sangat malu rasanya."

Naruto tersenyum, senyum paripurna favorit orang-orang di sekitarnya. Perbincangan berlangsung damai di samping si Uzumaki menyetir hati-hati menggunakan sebelah tangannya. Sesekali mengatur tuas di bawah kendalinya. "Kita serupa deh kayaknya. Aku juga awalnya malas terlibat dengan kamu, Sas. Aku bingung, kamu itu kek yang mahir banget buat aku jengkel. Tapi, setelah kamu enggak ada di jarak pandang aku, aku justru merasa kehilangan. Atau dari situ aku mulai tertarik ke kamu mungkin, ya?"

HOT GARAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang