Tatkala perkuliahan usai, si Uzumaki tak menimbang-nimbang untuk bergegas meninggalkan kelas matematika teknik tingkat II yang dibawa Bu Fuuka. Dia melenggang santai, menyandang ranselnya sambil melewati meja dosen. Teriakan dua temannya pun ditepis, justru dia berjalan dengan pasti seakan telinganya tak mendengar interupsi sekitar sekalipun pengajar mata kuliahnya.
"Uzumaki, kamu tidak mendengar saya?" Bu Fuuka mengulang sekali lagi panggilannya, memaksa si empu untuk memberinya barang sedikit atensi.
"Yah, ada apa?!" Si Uzumaki berbalik, mengerang panjang saat kedua tungkainya dipaksa maju tiga empat langkah ke depan. "Sebenarnya saya dengar. Tapi, saya yakin tidak ada persoalan penting di antara kita kecuali urusan akademik." Sepasang alisnya naik dengan pongah, penegasan terhadap sikap sang dosen yang masih juga mengganggu sampai sekarang.
"Saya ingin klarifikasi langsung dari kamu mengenai pernyataan gadis tempo hari. Apa kamu dan dia memang menjalin sebuah hubungan?"
Pertanyaan demikian tak ayal memantik amarah yang semula ditekan ke dalam. Uzumaki enggan meluapkan kekesalannya. Dia berpikir hal itu akan membuat Bu Fuuka merasa menang akibat telah mendapatkan perhatian dia.
"Aaa--" Mengangguk-angguk sambil menyeringai tipis, si Uzumaki tahu momen ini akan terjadi. Walau waktunya cukup jauh dari perkiraan dia. "Ibu masih perlu bukti rupanya. Baiklah!" Desah napasnya berembus kasar bertepatan dia mengangkat tali ranselnya yang sedikit menurun ke bahu. "Saya kasih kesempatan untuk mngikuti saya. Temukan jawaban yang Ibu mau tanpa kelihatan mencolok. Takutnya Ibu malu sendiri jika orang-orang menyaksikan dengan mata kepala mereka bagaimana kelakuan asli Ibu. Puas?! Saya kehabisan cara halus untuk mengingatkan. Terima kasih atas obsesi Ibu yang sungguh mengusik kedamaian hari-hari saya di kampus. Saya hanya berharap ujian semester akhir segera datang. Lalu, kita tidak perlu lagi bertatap muka." Sebelah sudut bibirnya mencuat geram dini dia menampakkan air muka jemu. Si Uzumaki memutar badan, melebarkan pijakannya menuju pintu.
"Gila, ya. Obsesi dia enggak ada matinya. On terus kayak lampu lalu lintas." Di sisi tembok pembatas, Kiba seketika menyeletuk begitu menyaksikan si Uzumaki keluar dari kelas mereka.
"Bukan obsesi namanya misal dia berhenti mengejar Naruto," sambut si Shikamaru pula seraya mereka bertiga berjalan beriringan di koridor. "Nanti malam latihan terakhir 'kan, Nar?"
"Iya, Shik."
"Terus, persiapan kamu sudah sampai di mana?"
"Rencananya aku mau beli raket. Kalau bisa sekalian cari kegiatan yang bisa mendinginkan emosional. Perilaku Bu Fuuka itu bikin aku ingin menendang orang."
"Mau kita temani?!"
"Enggak usahlah, Shik. Kasihan teman-teman di bengkel. Takutnya pelanggan ramai, bisa kelabakakan mereka menanganinya."
"Benaran?! Masalahnya suasana hatimu kacau, Nar. Entar malah tidak fokus, dan bisa saja sungguhan menonjok muka orang di tengah jalan."
"Sialan! Kamu kira aku segitu putus asanya?" Uzumaki menyahut dengan lengkungan tanggung di bibirnya.
"Yah, siapa tahu 'kan, Nar?"
"Aku mau ajak Sasuke."
"Hah?!" Shikamaru dan Kiba berseru serempak. "Gurauanmu kali ini tidak lucu sih, Nar." tukas Shikamaru selanjutnya.
"Ini serius, kok. Bakalan bosan kalau perginya cuma sendirian, Shika. Sasuke juga tidak seburuk dugaanku. Dia masih punya sisi lucu yang menyenangkan. Setidaknya celoteh random dia mungkin bisa menghiburku sejenak. Sudah hari-H, ada saja masalah yang muncul. Gara-gara itu kepalaku pusing. Mulai dari Sakura yang mendadak berulah, dia mogok latihan. Aku rasa dia mundur dari pertandingan, artinya satu medali sudah pasti hangus."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT GARAGE
RomanceSeumur-umur, Sasuke Uchiha tidak pernah menoleransi yang namanya bau menyengat dan kotor. Apalagi jika berhubungan dengan mesin dan segala perkakasnya. Tetapi, begitu menyaksikan pesona 'Naruto Uzumaki' si montir keren itu, diam-diam Sasuke membia...