๑ 25.⁹๑

176 27 10
                                    

Satu jam mereka habiskan hanya untuk menikmati suasana di bukit. Sasuke tidak menyangka jika berbaring di hamparan rumput, beralaskan paha si Uzumaki bisa sangat menyenangkan seperti tadi. Sesekali mereka bertukar cerita mengenai keseharian masing-masing di kampus. Sasuke banyak berperan sebagai pendengar setia seraya dia menikmati sentuhan kecil si Uzumaki yang mampu melenakannya, perasaannya pun turut menghangat.

Sasuke suka jemari panjang pemuda itu menggulung-gulung helai rambutnya. Atau ketika mencolek pucuk hidungnya, bahkan berdebar-debar kala telempap nan kasar si Uzumaki bertemu dengan permukaan halus kulit pipinya. Semua afeksi membuat Sasuke candu, meski kerap berpikir kenapa dahulu membenci si pemuda. Andai dia tahu lebih awal bahwa si Uzumaki adalah definisi dari maskulinitas yang murni. Orang-orang akan menyuarakan visualnya yang gagah, vocal berat terdengar lembut mendominasi, senyum dan tawa yang tampan, pun penampilan semberono. Sasuke menyadari daya tarik utama. Dia terkesima akan sikap pemuda itu. Emosionalnya bisa menggebu-gebu. Namun, tetap pandai menempatkan dampaknya.

"Sas—" Punggung tangan si Uzumaki menyinggahi pipi halus Sasuke, menyentak gadis ini untuk spontan memberi atensinya. "Enggak pergi enggak pulang kamu melamun terus, Sas. Yang tadi jangan dipikirkan. Kalau belum yakin sama keputusan kamu enggak usah dipaksa, ya." Sasuke menggeleng, mengulas senyumnya yang tampak manis sekali.

"Aku kepikiran kamu."

Si Uzumaki balas tersenyum serempak tangannya turun ke tuas persneling. Fokus mata dikembalikan ke depan. Bagaimanapun dia perlu membawa mereka agar selamat sampi di rumah. "Memangnya aku kenapa?"

"Bukan kamu yang kenapa. Tapi, aku." Sasuke mendesah cukup keras. "Rugi ya aku enggak bisa memandang kamu dari dulu. Telat banget rasanya."

"Maksudnya apa, sih? Ucapan kamu itu seolah-olah selama ini kamu buta."

"Mungkin juga."

"Loh, kok mungkin?"

"Ya habisnya celotehan aku sia-sia. Aku selalu ada bahan untuk dibagi bertiga sama Tayuya dan Karin. Padahal aslinya kita belum ketemu langsung waktu itu. Aku gampang terpicu cuma karena bang Ita doyan puji kamu di depan papa mama. Dia itu enggak sadar kelakuannya mencerminkan fanboy garis keras. Dan aku haters kamu yang betulan muak setiap kali mendengar kata cinta orang-orang buat kamu."

Nyaring tawa si Uzumaki mengudara, seolah-olah yang didengarnya merupakan lelucon terlucu di abad ini. "Eksistensi aku berpengaruh banget buat kamu ya, Sas. Aku jadi penasaran. Haters itu yang biasanya denial 'kan? Suka memutarbalikkan fakta, mengusung fitnah, menebar stereotip ganda untuk memecah kubu, apa kamu begitu juga?"

"Kalau aku tahu lebih spesifik lagi soal kamu, bisa jadi iya." Lagi-lagi si Uzumaki melantangkan gelaknya. Saking gemas dia tak dapat menahan telapaknya untuk mengacak-ngacak puncak kepala Sasuke.

"Plot twist, ya. Pentolan kampus seperti kamu benci sama aku yang cuma artis seputaran fakultas teknik. Niat banget kamu jadi haters aku."

"Nama kamu itu berhasil menyalib posisi aku di meja makan. Kamu kira aku enggak sebal apa dianggurkan sama orang tua sendiri. Aku cerita panjang lebar cuma dikasih anggukan atau gelengan doang. Giliran bang Ita bahas kamu, papa mama sahut-sahutan. Kayak kata kamu, cuma artis fakultas hype-nya over reaction. Bang Ita mendalami peran banget sebagai promotor kamu. Aku kalah telak, Nar. Belum lagi cowok-cowok yang datang ke rumah berasa sedang uji nyali. Enggak ada sambutan yang selayaknya standar umum, ya pada kabur lah." Agaknya si Uzumaki hendak menghadiahkan applaus semarak untuk Sasuke. Gadis ini tak henti-hentinya menyodorkan humor.

"Harga diri kamu tersakiti, ya? Kalah saing sama aku."

"Aku itu bingung, siapapun yang bertamu ke rumah enggak ditanggapi walau basa-basi. Bayangin Nar, naik Rubicon cowok kampus sebelah. Dia bela-belain beli pastry termahal buat papa, buket bunga eksklusif untuk mama, malah dipandang sinis. Jangankan secangkir teh, dipersilakan duduk juga enggak. Masih untung aku enggak disembur air sama anak itu." Perut si Uzumaki nyaris kram akibat kebanyakan gelak.

"Sas, aku enggak kuat kalau kamu masih lanjut cerita. Entar aku kencing di sini berabe urusannya."

Sejemang Sasuke hening sebelum tawanya menggelegar memenuhi ruang di dalam Jip. Keduanya tanpa sadar membaur dalam satu suasana serta perasaan serupa.

-----

"Aku senang kamu datang."

"Bukannya sebaliknya? Berhentilah berpura-pura, Konan. Aku yakin kamu enggak benar-benar berharap aku ada di acara bahagia kamu."

"Ternyata aku salah. Karin tetaplah Karin dan segala ego besarnya. Aku sudah melangkah sejauh ini dan omongan kamu masih tetap pedas."

Kelang radius beberapa meter Nagato mengamati perbincangan serius di antara Konan dan Karin. Mereka berdiri di taman belakang di mana Nagato dan Konan mengobrol semula. Belum Konan mengayun langkahnya untuk meninggalkan taman, Karin muncul di hadapannya bersama raut kentara datar. Berujung keduanya memilih pinggiran kolam untuk meluapkan kemelut akal.

"Dan kamu masih juga naif," tanggap Karin seiring seringai remeh di bibirnya. Lipatan detik sekian dia melipat lengan-lengan ke dada, tidak perlu berbaik hati barang melirik sebentar demi sikap santunnya kepada yang lebih tua.

"Kelihatannya kali ini aku kalah lagi." Tarikan napas Konan berembus panjang. "Orang yang super ego dan kejam seperti kamu tidak akan paham artinya penyesalan Rin, tidak sampai kamu kehilangan orang-orang terdekat kamu. Aku rasa kematian Yahiko tidak ada apa-apanya buat kamu 'kan?"

"Kamu pikir aku punya alasan untuk bersimpati terhadap kematian dia? Dia cuma pecundang—orang mana yang lebih memilih mempertahankan cintanya dan mati daripada melepaskan cinta itu untuk jaminan hidup di masa depan?"

"Ya, dia tidak lebih baik karena menyia-nyiakan hidupnya yang berharga." Buru-buru Konan menyeka setitik kesedihan di pelupuknya. "Tapi kamu sangat buruk karena tega mengambil kesempatan saudaramu sendiri. Dia mungkin masih akan bersama kita saat ini andai mulutmu dipergunakan untuk hal yang pantas. Cintamu kepada Yahiko cuma sebentuk obsesi gila, Karin. Dan kamu ingin mengulanginya lagi 'kan? Wajahnya menipu semua orang. Tapi, semesta tidak akan membiarkanmu lolos lebih lama. Aku tahu Naruto punya caranya sendiri untuk mengatasimu—berhati-hatilah. Sedikit saja langkahmu salah, hidupmu pasti merana Karin. Kamu hanya akan berakhir sendirian dan kesepian. Bersyukurlah Bibi Kushina mau menerimamu, haruskah aku memberitahu perbuatan keponakannya yang berhati iblis ini?"

"Jaga batasanmu, Konan! Kamu bukan siapa-siapa di sini. Nasibmu tidak lebih beruntung dariku. Nagato bersedia menikahi kamu karena kasihan. Kamu memaksa dia agar menidurimu dan bertanggung jawab, iya 'kan? Yahiko bahkan menyerah padamu, Naruto juga tidak ingin berjuang untukmu. Dia memilih gadis lain dan dia membawanya ke rumah ini—aku jadi penasaran bagaimana reaksimu nanti setelah melihatnya." Karin tersenyum sarkas, merasa menang. Banyak fakta ditutupi gadis ini, dia tak sesederhana prasangka siapapun yang mengenalnya.

"Kamu boleh menertawai posisiku, Karin. Sedangkan aku justru akan berdoa supaya kelak kamu mendapatkan sandaranmu sendiri dengan cara yang sehat. Sekali lagi aku ingatkan, Naruto tidak akan mampu dan tidak akan mungkin bisa kamu genggam. Dia lebih keras dari seluruh kemauan keras di dunia ini. Sifat lembutnya bagian dari sisi kerasnya, itupun bila kamu memahami."

HOT GARAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang