Konan menatap Nagato dengan jutaan harapan baru di matanya. Saling berhadap-hadapan ketika pendeta membacakan petuah nasihatnya sebelum janji pernikahan mereka ucapkan. Sudut bibir Nagato naik perlahan-lahan. Dia amat tenang untuk seseorang yang akan mengucapkan sumpah sehidup semati di depan puluhan saksi, tiada yang menyadari di dalam rongga dadanya begitu kencang berdetak. Sungguh lega setelah melewati berkali-kali kebimbangan, menahan sendirian kemungkinan terburuk bahwa calon pengantinnya bisa berbalik meninggalkan dia. Namun, takdirnya sejalan dengan impian. Dia patut berpuas diri sebab berhasil mempersunting gadisnya.
"Kamu enggak menyesal 'kan?"
"Jangan mulai, deh. Mending aku kabur dari kemarin daripada memaksakan diri sejauh ini."
Merenggang pula senyuman kecil tadi. Pertama kali bagi Nagato merasakan tubuhnya meremang sampai ke lutut, itu hanya sebab pengantinnya kelewat cantik hari ini. "Aku enggak menyangka kamu bisa luar biasa cantik, Konan. Ke mana saja aku? Biasanya yang aku lihat muka jutek kamu, di ranjang sekalipun."
"Diam! Mulutmu bisa mempermalukan kita."
Keduanya berbicara dalam intonasi rendah memang, berjaga-jaga agar keributan tersebut tidak jelas di telinga si pendeta. Walau jarak dua meter yang memisahkan mereka dengan si pendeta masih memungkinkan pria tua itu mendengar serupa bisikan. Sejemang mereka kompak menengok ke kiri, lega bersusulan usai menemukan si pendeta tetap fokus pada wacana di genggamannya.
"Maaf," kata Nagato. Cukup takut dengan percikan tajam dari bias pandang pengantinnya.
"Baik," Si pendeta berdeham halus, mengayun dua langkah pelan ke depannya. Secara bergulir melirik Nagato dan Konan sebelum celetukan ini, "Kalian sangat bersemangat rupanya," Praktis menguraikan seluruh rasa malu di dalam diri Konan. Umpatan serapah tak ayal mengentak-ngentak di benaknya. Dia sungguh membenci keteledoran Nagato, diam-diam merutuki keputusannya yang mau-mau saja menikahi makhluk antariksa ini. "Silakan berpegangan, kalian siap mengucapkan sumpah 'kan?" Tetapi, mustahil untuk membatalkannya, benar? Konan tentu tidak serius akan niat sepintas di hatinya, sekadar hendak sangat marah terhadap kebodohan Nagato yang tak jarang mencoreng wajah mereka.
Bait-bait dengan bunyi nyaris persis bergantian diperdengarkan oleh Nagato dan Konan. Meski keduanya bukanlah pasangan hangat nan mesra, sejatinya momen sakral demikian akan menggugah haru siapapun; Konan menitikkan setetes di pelupuknya.
"Kamu menangis untuk kita. Semoga berbahagia, teruslah bersama denganku, ya." Alih-alih mencium bibir pengantinnya, Nagato tergerak melabuhkan kecupan sayang cukup lama di kening. "Mari berusaha satu sama lain supaya selalu menyayangi." Mereka berpelukan erat, menumpahkan lebih perasaan trenyuh di sanubari Konan.
Detik singkat berselang riuh tepuk tangan Naruto menginterupsi keheningan, kian semarak ketika saksi dan tamu lainnya turut memberikan dukungan mereka. Sebuah pernikahan sederhana, sendirian tanpa orang tua, namun baik Nagato serta Konan masih mendapatkan cinta kasih dari sanak saudara.
-----
"Hei, kenapa di sini? Kamu enggak ikut makan sama yang lain? Tayuya cari kamu."
Sasuke menengok, menyeringai sekejap dengan kedua tangan memeluk dirinya sendiri. "Lagi kepingin sendiri. Aku sudah bilang ke Tayuya, entar aku balik ke sana lagi kok."
"Enggak mau cerita? Jangan dipendam! Kamu bisa pergunakan aku buat apapun, Sas. Termasuk sebagai pendengar."
Lamat-lamat Sasuke mengamati si pemuda Uzumaki, merekam rupa eloknya di hari spesial kali ini. Naruto terlihat bagus dengan penampilan apa saja, sekalipun baju kodok oranye yang kerap dia pakai di bengkel. Ketampanan tidak berkurang dari wajahnya dan kini Sasuke dapat menyaksikan level baru dari gaya pemuda itu. Naruto tidak mengenakan jas, hanya kemeja putih panjang yang bagian lengannya di lipat sebatas siku. Ujung-ujungnya dimasukkan ke celana keper. Ikat pinggang berbahan kulit meningkatkan kesan maskulin matang bagi profilnya.
"Nar ..."
"Hn ..."
"Jangan ganteng-ganteng terus, aku jadi bingung."
"Apaan, sih? Bisa-bisanya lagi serius begini."
"Beneran, Nar. Kamu beda banget kalau berpakaian seperti ini. Apalagi jas sama dasi, aduh!"
"Sasuke ..." Naruto ingin menarik gemas pipi gadis itu andaikan rasa malunya tak naik ke ubun-ubun. Seumur-umur belum pernah ada seorang gadis berani merayu dia secara terang-terangan.
"Wajah kamu merah?!" Cekikikan puas, Sasuke merasa menang ketika Naruto menjadi salah tingkah di hadapan dia. Lihat saja bagaimana si pemuda membuang muka, tertawa malu sambil menyelipkan jemarinya ke saku celana. Dia butuh pelampiasan, sayangnya Sasuke cukup pandai mempermainkannya.
"Sini, kamu!" Lalu, harga dirinya selaku lelaki begitu cepat mendorong akalnya untuk menarik pelan lengan Sasuke. Mereka berbenturan ringan, mendadak dilingkupi kesunyian di antara sepasang tatapan bermakna. "Yakin kamu bakal enggak apa-apa setelah menggoda aku habis-habisan?"
"Enggak takut!"
"Kamu menantang aku?!"
"Aku bilang aku enggak takut."
"Kamu salah kalau sengaja memancing singa, Sas. Aku bisa melahap kamu kapan saja."
"Enggak akan takut." Padahal sendirinya jantung sedang melompat-lompat. Sasuke menyadari perutnya geli oleh kepakan sayap kupu-kupu yang berterbangan. Dia dan Naruto berada dalam posisi intim.
"Astaga, gadis nakal! Tarik ucapan kamu!"
"Enggak mau!" Lidahnya terjulur, justru menikmati semua provokasi yang dia lakonkan.
Laun-laun tatapan sayu sebiru langit mengintimidasi mutiara jelaga, memacu denyut di sebalik rongga dada mereka. Akan sangat ribut jikalau bunyinya menembus ke permukaan kulit. Naruto memiringkan kepala, mengikis jarak; datang dalam kepastian selaras pejaman mata dari gadisnya, ternyata yang tadi nekat bertindak jahil bisa malu-malu juga.
Volume labium berbeda bersentuhan dengan instingnya, Naruto menarik bibir Sasuke untuk lumatan lembut, memberinya gigitan kecil disertai jilatan-jilatan semu. Itu mengundang hasrat ke permukaan hingga melemaskan otot-otot penyangga Sasuke. Ciuman yang tadinya manis menimbulkan hawa panas ke tengah-tengah mereka, Sasuke melantun desahnya seiring semilir angin di siang hari. Dia mengerang, tenggelam oleh euforia yang menuntut kebutuhan. Dia tahu menginginkan lebih dari ini, lebih dari kecupan basah atau pagutan liar beradu lidah. Namun, tidak. Tidak untuk kebablasan di tempat umum seperti ini. Bersyukur prasmanan berada di area lain di luar gereja, atau mereka dapat dicap manusia tak bermoral.
Si pemuda Uzumaki melepas ciuman lebih dahulu, mengusap sisa saliva yang menempel di bibir gadisnya. Wajah Sasuke sudah semerah delima sekarang. "Kamu beruntung kita di sini, Sas. Atau kamu bakalan kaget sama apa yang terjadi selanjutnya. Aku masih punya kewarasan untuk enggak betulan makan kamu."
Entah akibat malu, Sasuke tiba-tiba menenggelamkan wajahnya ke dada si pemuda Uzumaki. Dia membiarkan lengan-lengan rampingnya melingkar erat di pinggang Naruto. "Aku cuma mau peluk, Nar. Sebentar."
"Kamu kepikiran apa?" Tanya terlontar tenang, sedikit afeksi melalui sapuan gamang ke punggung Sasuke.
"Karin—dia bilang dia mau pergi dari kita. Aku sudah memaafkan perbuatan dia yang coba mencelakai kita. Tapi, dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri tanpa hukuman yang menurut dia pantas. Dia tahu kita enggak akan menyeret dia untuk diadili dan dia justru memutuskan keadilan dalam versi dia. Aku sedih, Nar. Aku merasa bodoh, enggak berdaya."
"Kamu tetap temannya 'kan?"
"Aku enggak mungkin melepaskan pertemanan kita."
"Kalau begitu, dukung apapun pilihan dia, Sas. Kamu hanya perlu membuka mata hatinya agar dia bisa lihat kesungguhan kamu."
Sayup-sayup hela napas Sasuke berembus rendah, merasakan kegelisahannya berangsur-angsur luruh. "Aku sayang kamu, Nar." Akhirnya Sasuke dapat mengulas senyumannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT GARAGE
RomanceSeumur-umur, Sasuke Uchiha tidak pernah menoleransi yang namanya bau menyengat dan kotor. Apalagi jika berhubungan dengan mesin dan segala perkakasnya. Tetapi, begitu menyaksikan pesona 'Naruto Uzumaki' si montir keren itu, diam-diam Sasuke membia...