๑ 26 ๑

217 23 35
                                    

Malam yang singkat agaknya bagi Sasuke ketika dia sedikit heran setelah menyaksikan pendar ekor mentari menyambangi ruang melalui lubang kecil ventilasi. Dia dan Naruto berbincang banyak tadi malam. Pemuda itu mengambil luang untuk memperkenalkan silsilah keluarga besarnya. Dari sana Sasuke mengetahui bahwa keluarga di pihak ayah Naruto merupakan sekumpulan orang yang rumit. Mereka begitu tunduk terhadap kemurnian garis keturunan dan martabat. Sasuke sempat terserang keraguan, kepercayaan dirinya terusik oleh semua kenyataan tersebut. Namun, si Uzumaki dalam sekejap berhasil menghapus kebimbangannya.

Aku sudah lama meninggalkan mereka, Sas. Sebenarnya papa juga. Makanya beliau dan mama sepakat membangun rumah di kota ini. Awalnya berat buat papa. Dia enggak pernah membangkang apapun keputusan kakek nenek. Tapi, semenjak kepergian kakek, keras kepala nenek makin menjadi-jadi. Nenek bahkan dengan mudahnya menghina mama hanya karena mama berasal dari kalangan biasa. Keluarga mama bukan darah bangsawan seperti keluarga papa, meski nama Uzumaki sebenarnya terpandang di kota kelahiran mama. Yah ... itu saja enggak cukup buat melapangkan ego nenek. Kakek yang menerima tentu membuat nenek mau tak mau mengikuti langkah suaminya. Sampai kejadian di mana kakek meninggal, keluarga besar papa pun terpecah belah, terutama dari pihak papa. Papa langsung memisahkan diri, enggak tahan sama kelakuan nenek yang selalu semena-mena. Aku dan Saara juga lebih memilih memakai marga mama daripada papa, supaya kita enggak terikat lagi dengan peraturan kolot semacam itu. Aku enggak mau keluarga dan orang terdekatku terluka oleh kesombongan mereka.

Sasuke merasakan merinding, jantungnya berdegup luar biasa kencang. Fakta yang dipaparkan Naruto seumpama plot twist pada cerita-cerita di buku novel. Dia diam mendengarkan, mengamati keseriusan di raut si pemuda Uzumaki. Beruntung kebungkaman itu dapat menyelamatkan harga dirinya dari reaksi yang mengada-ngada.

Sekali Sasuke hela napasnya lumayan panjang dan perlahan-lahan, menyusul pandangnya meneliti penjuru kamar. Naruto masih terlelap di sofa tunggal, mengangkat kedua kakinya ke atas meja bundar. Lehernya tengadah ke belakang. Bukan cara tidur yang benar memang, namun Naruto bilang kamarnya tetap menjadi tempat peraduan ternyaman. Dia tidak perlu khawatir akan mengganggu keluarganya yang lain di kala dia tak dapat bangun di awal pagi.

Dengkuran si pemuda Uzumaki terdengar halus seiring bibirnya sedikit terbuka. Adegan demikian tak ayal menghantarkan kehangatan ke sanubari Sasuke. Ini pertama kalinya dia melihat sebagian ringan dari privasi Naruto dan dia sadar dia menyukainya. Sasuke menyibak selimut dari tubuhnya, turun dari ranjang untuk kemudian melipat benda berukuran lebar tersebut. Dia habiskan sekian menit membenahi kasur itu hingga tampak kembali rapi.

"Tidur kamu laki-laki banget ya, Nar. Di sofa doang bisa segitu nyenyak," kata Sasuke sembari mengurai senyum tipisnya dini dia berdiri di samping sofa yang menjadi ranjang darurat Naruto. Jemarinya berpindah pula, mengusap lembut kepala si pemuda. "Semoga deh bangun-bangun punggung dan leher kamu enggak sakit. Kalaupun sakit aku bakal tanggung jawab. Habis ini aku mau ke dapur dulu, enggak enak sama mama kamu." Alhasil Sasuke bergegas ke pojok ruangan. Dia juga perlu mandi agar kelihatan lebih segar dan percaya diri.

-----

"Sasuke--Nana pasti belum bangun 'kan?"

"Kita mengobrol sampai larut, Bi. Eh ..." Sasuke refleks menutup mulutnya, merasa telah melakukan kesalahan sebab tak menyanggupi permintaan Kushina kemarin.

"Kamu masih malu, ya?" Kushina meliriknya sebentar, dia sibuk dengan hidangan sarapan pagi yang baru Sasuke sadari tersaji begitu ramai di meja.

"Ehm.. sungkan." Suaranya mencicit, nyaris tidak terdengar andai Kushina tidak fokus padanya.

"Aduh, mama jadi gemas sama kamu." Pipinya dicubit, lalu rambutnya dielus-elus. Sasuke senang mendapatkan afeksi semacam, membuat dia spontan memejamkan mata. "Enggak apa-apa. Pelan-pelan dibiasakan, ya. Pantasan Nana kepincut kamu, orangnya lucu begini. Jinak-jinak kucing."

"Mama, ih ...! Apa itu jinak-jinak kucing?" Seringkas kedipan Sasuke justru tak menyadari ke mana kecanggungan itu pergi. Dia merengek, seolah bersikap seperti ini kepada Kushina adalah hal biasa baginya. "Aku tahunya jinak-jinak merpati."

"Jadi, maunya disebut kucing apa merpati?!"

"Ya kucing lah. Kucing 'kan lebih imut daripada merpati." Mana terpikirkan Kushina bahwa Sasuke bisa segini manja. Gelagatnya mudah sekali memancing tawa, apalagi rengekan yang terus-terusan diperdengarkan ke telinganya.

"Ya sudah, Mama minta maaf, ya. Mama cuma kepingin tahu bagaimana aslinya kamu tanpa perlu disembunyikan. Mama senang seseorang yang apa adanya seperti apa yang mama tanamkan ke Nana dan Saara." Sasuke menyimak saksama, merelakan dengan hati yang besar setiap tangan mungil Kushina menyapu sayang punggungnya, bahu, berikut lengannya. Sasuke tipikal pendamba sentuhan fisik, sebab itu dia tak sedikitpun merasa risi saat Naruto tiba-tiba memeluknya. "Kamu mau sarapan apa? Mama ada siapkan roti panggang, kue kukus, ada onigiri, mie soba goreng, kamu pilih sendiri apa doyannya."  Dipedulikan terang-terangan demikian tak ayal mendorong Sasuke berada di atas angin. Tak seharusnya pula dia kikuk setelah Kushina memberondongnya melalui perhatian tulus.

"Ma, aku tunggu Nana bangun boleh enggak? Soalnya aku belum yang lapar banget. Tapi, kepingin cemilan."

"Terserah kamu. Yang penting Mama sudah sediakan semuanya, tinggal dipilih. Atau misal kamu mau buah, di kulkas ada buah potong."

"Iya deh. Aku ambil buahnya ya, Ma." Terungkai dengan lihai dari bibir Sasuke, tak lagi terbebani oleh tuntutan tutur yang dikehendaki Kushina. Segalanya mengalir dengan entengnya. Perilaku bersahaja serta perhatian Kushina menyebabkan Sasuke tak segan dalam menyambutnya.

Sebuah piring ceper mini sudah berisikan bermacam buah potong. Itu adalah persik, apel, mangga dan semangka. Sasuke membawanya ke meja seraya dia duduk di sebelah Kushina.

"Hubungan kamu sama Karin baik-baik saja 'kan?" Sejenak Sasuke terperanjat, turut menghentikan kunyahannya di mulutnya. "Apapun yang dia lakukan dan belum lakukan ke kamu, Mama minta maaf, ya." Kening Sasuke praktis mengernyit, kendati dia meragu terhadap dugaan yang melintas di benaknya. "Mama tahu dia menyukai Nana dan mungkin itu bisa jadi merusak hubungan pertemanan kalian."

"Sejak kapan Mama tahu?"

"Sudah lama." Senyuman Kushina datang guna memberikan kedamaian pada situasi yang barangkali akan tegang ini. "Nana cerita pas pertama kali Karin mengutarakan perasaannya, itu waktu mereka masih SMA."

"Karin suka Naruto selama itu?"

"Tentang itu tentu Karin yang lebih tahu."

"Iya juga ya, Ma. Barangkali Karin memendam lebih lama lagi."

Detik berikutnya Kushina mendesah berat, "Mama prihatin dan betulan sayang sama Karin. Mama enggak mau dia atau Nagato merasa berbeda dari anak-anak Mama, makanya Mama akan berusaha agar semuanya mendapatkan hal yang serupa dan sebanding. Begitu tahu kalau dia suka sama anak Mama sendiri, Mama bingung. Apalagi Nana menganggap dia sebatas adik, adik yang patut dihormati katanya--kamu tahu 'kan Karin itu kelewat mandiri? Apa-apa enggak mau dibantu sampai Nana sering kesal karena ditolak melulu. Beda sekali dengan Saara yang gemar merajuk, minta ini itu, suka mengaduh. Mama jelas inginnya yang terbaik buat anak-anak Mama, Mama bebaskan ke mereka asalkan tidak menimbulkan masalah."

"Mama setuju aku sama anak Mama?" Pertanyaan esensial ini tercetus secara mantap, Sasuke mengharap sebentuk pengakuan dari sosok yang kelak menjadi ibu mertuanya.

"Memangnya Mama kelihatan menentang?" Sudut-sudut bibir Kushina tertarik tipis, "Mama paling tidak bisa pura-pura, Sasuke. Kamu paham 'kan maksud Mama?"

HOT GARAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang