"Kamu dari mana? Mama telepon enggak diangkat-angkat. Nagato cari kamu." Di depan pintu Kushina langsung mencecar putranya, belum menyadari presensi lain di balik punggung nan lebar itu. Sedang, Naruto sekadar mendesah pasrah. Anggap saja ibunya ini sedikit pelupa. Padahal beliaulah yang memintanya untuk mengajak Sasuke berjalan-jalan agar calon menantunya itu tidak gerah kebosanan, katanya.
"Oh, jadi Nana dimarahi sekarang? Padahal Mama yang minta Nana bawa Sasuke keluar. Nanti calon menantu Mama bosan di sini. Tahu sendiri Bibi kamu biang gosip semua, kalau Sasuke risi mama yang malu. Mama sudah ingat belum?"
"Astaga, kamu itu dikasih tahu kok malah ikut menggurui Mama sih, Na? Buruan sana! Sasuke biar Mama yang urus." Gemas sekali Naruto menyaksikan ocehan ibunya yang mungkin selalu tak pandang tempat. Tapi, hal itulah yang membuat dia selalu rindu dan rindu akan sosok ibunya ini.
"Iya, iya. Tapi, sama calon menantunya jangan judes-judes. Entar kabur anaknya."
"Sembarangan! Cuma kamu yang bilang Mama cerewet." Kushina menarik pelan lengan Sasuke, tidak juga menyadari bahwa gadis ini sengaja menunduk demi menutupi rona di pipinya. Obrolan tadi terdengar biasa, meski Sasuke merasakan dadanya berdebar-debar. Itu berarti dia telah diterima bukan? Tapi, dia enggan bersorak-sorai di sini. Dia butuh privasi supaya bisa melepaskan euforianya tersebut di mana pun itu asalkan dia benar-benar sendirian.
"Sas, sama Mama dulu, ya. Semisal perlu apa-apa kamu ke Saara, atau teks ke aku. Ini ponselnya sudah aku aktifkan lagi. Ingat, jangan melamun melulu!" Hela napas Sasuke mengudara halus, kelu usai si Uzumaki barusan membuka kartu As-nya.
"Enggak apa-apa. Melamun sudah jadi kebiasaan banyak perempuan. Mama maklum kok." Latah pula Kushina menyebutkan tutur intim untuk dirinya sendiri. Diserang secara beruntun seperti ini, lama-lama Sasuke juga tidak akan kuat.
"Ma—" Mulutnya buru-buru dibekap, kepalang malu sebab kelewat berani. Matanya bahkan melotot panik.
"Kenapa, Sasuke? Kok ditutup begitu mulutnya?"
"Ehm, itu ... maksudnya ma-mau ke kamar mandi." Sialnya Sasuke keburu grogi sampai membuat ucapannya terbata-bata.
"Ya sudah. Di kamar Saara saja biar dekat—Mama ke dapur duluan, ya." Daripada makin salah tingkah, Sasuke puaskan dirinya dengan hanya mengangguk lamban. Lalu, menyelamatkan sisa ketenangannya dengan dua tiga kali pernapasan panjang. Dia juga butuh segelas air untuk tetap fokus.
-----
Naruto bergegas ke belakang, ke seberang kolam di mana mereka membangun gazebo di sana. Nagato sudah menunggunya, duduk seraya menikmati secangkir teh yang baru dia tuang dari cerek dan masih mengepulkan asap.
"Bro, setahun tidak melihatmu dan apa-apaan ini? Apa kamu memakan daging berotot?"
"Kamu juga memanjangkan rambutmu."
"Tidak ada hubungannya, Bro. Berhentilah membesarkan daging tak berlemak itu. Mau membuatku malu, ya?"
Sejemang Naruto tertawa, mendaratkan pantatnya ke permukaan kayu seiring embusan napasnya terbuang ringan.
"Pekerjaanku cukup berat. Aku perlu latihan rutin supaya tetap bugar."
"Aissh, dasar!" Nagato mendelik main-main kendati Naruto kepalang menyimpan seberkas rasa malunya. Dia tahu tudingan sarkas semacam merupakan cara seniornya ini untuk memujinya. "Aku enggak mau tanggung jawab jika Konan berpaling melihatmu lagi, Naruto. Rasakan sendiri akibatnya."
Kepala merunduk sepintas, melebarkan senyum yang tersembunyi. Sekejap detik dia menyadari kelegaan sebab nama Konan tiada lagi menggetarkan baginya. "Tidak bisa lagi. Aku sudah punya seseorang dan aku juga ingin cepat-cepat menikahinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT GARAGE
RomansaSeumur-umur, Sasuke Uchiha tidak pernah menoleransi yang namanya bau menyengat dan kotor. Apalagi jika berhubungan dengan mesin dan segala perkakasnya. Tetapi, begitu menyaksikan pesona 'Naruto Uzumaki' si montir keren itu, diam-diam Sasuke membia...