Mereka tidak tenggelam pada pemikiran itu-itu saja. Ini adalah hari ke dua setelah Naruto Uzumaki diizinkan pulang dari rumah sakit. Meski dia belum dapat berjalan normal sedia kala, tak pula menyebabkan semangatnya menurun. Dia tetap terlihat energik dalam beraktivitas. Teman-temannya di bengkel memang tidak memperbolehkan untuk dia kembali bekerja sampai lengannya bisa dipergunakan lagi tanpa gips yang menahannya. Berujung dia sekadar memandangi layar laptop yang tengah menyajikan tayangan berupa praktik mekanika permesinan, tanpa tahu hiruk pikuk di luar di mana rekan-rekannya sibuk pada tugas masing-masing.
"Kiba, sedan merah siap buat dicuci, ya."
"Ok, Shika. Aku selesaikan dulu yang ini."
"Jangan lupa sarapan, Kib. Itu di meja ada roti kukus sama teh. Mending kau makanlah sebelum tehnya dingin."
"Nanti aku langsung sarapan. Ini juga tinggal finishing doang, kok."
"Titip ke atas, ya. Buat Naruto. Mobil yang ini mesinnya harus dibongkar. Sore bakal dijemput sama pemiliknya. Takut enggak keburu kalau ke sana sini lagi."
"Iya, iya—Gaara kapan balik?"
"Katanya sih siang ini. Mudah-mudahan saja enggak meleset. Tahu sendirinya ayahnya bagaimana setiap kali dia pulang ke rumah. Pasti si Gaara diberi ceramah panjang, didesak supaya kuliahnya segera dirampungkan."
Kiba yang mendengar pernyataan tadi sontak pula terkekeh ringan, teringat akan sikap ibunya yang justru lebih bisa memahami keinginan dia dan membebaskan pilihan. Nyatanya, Kiba mampu untuk tetap menjaga kepercayaan sang ibu agar tidak goyah terhadap keputusan dia.
"Sasuke?! Bukannya kata Naruto kamu enggak perlu datang ke sini lagi? Sudah dibebaskan dari pekerjaan 'kan?"
"Iya," jawab Sasuke malas. Si gadis Uchiha ini datang atas kemauannya sendiri, meski Naruto secara resmi sudah mencabut hukumannya. Dia tak lagi diwajibkan membantu pekerjaan mereka di bengkel.
"Terus, kenapa kamu kemari?"
"Mau ketemu Naruto lah, Shika. Kenapa masih ditanya, sih. Enggak ada peka-pekanya jadi laki-laki. Pantas saja pacarmu sering mengeluh kepadaku. Daya pekamu minus sekali, Shikamaru." Yamg tertuduh hanya memandang kesal sekarang seiring Kiba yang tak bisa menahan dirinya untuk cekikikan.
"Naruto di atas. Kamu masuk sendiri bisa 'kan? Kita lagi diburu waktu."
Detik itu juga si gadis Uchiha mengangguk lamban. Dia mengayun kaki-kakinya ke dalam, sempat menyapa Sai yang tengah menikmati hidangan sarapan paginya di meja kasir dengan senyuman tipis.
"Tunggu, Sasuke!" seru Kiba sembari dia beringsut ke meja yang letaknya tepat di samping kasir. "Sebenarnya aku yang diminta Shikamaru untuk mengantarkan ini ke Naruto. Mumpung kamu mau menemui dia, bisa 'kan sekalian bawa roti dan teh ini buat dia?" Sasuke mengangguk ulang, mengambil nampan kecil berisi satu mug teh dan dua bungkus roti kukus dari tangan Kiba.
"Ketuk dulu sampai dia menyahut. Naruto kurang suka kalau ada orang yang tiba-tiba masuk tanpa permisi." Tidak merespons jauh, sudut bibir si gadis Uchiha tertarik pertanda dia cukup memahami imbauan Sai barusan.
-----
Keberanian yang semula meneguhkan langkahnya berangsur-angsur menguap. Sudah lima menit Sasuke berdiri di depan pintu kamar si Uzumaki. Namun, belum jua dia melanjutkan niatnya. Sesekali menggigit bibir, menegaskan betapa gugup dia saat ini. Tak lama berselang bunyi knop pintu pun mengejutkan kesadarannya. Di situ Sasuke mendapati si Uzumaki menatap heran kepadanya.
"Sasuke/Naruto?!" Keduanya serempak melongo melihat presensi satu sama lain.
"Aku bawa sarapan buat kamu. Ehm—anu, Kiba yang minta tolong ke aku."
"Kok enggak bilang kamu ke sini biar aku bisa siap-siap?! Aku belum mandi. Baru cuci muka dan sikat gigi doang tadi." Sasuke praktis mendengkus. Kegugupan yang telanjur menahan dia seketika sirna seluruhnya.
"Boleh aku masuk?"
"Tentu saja." Dan si Uzumaki tampak sigap menyingkir ke kiri sebelum menutup kembali pintu ruangannya. "Di atas meja, Sas. Di dekat jendela." Tidak bermaksud memerintah, melainkan si Uzumaki serupa groginya. Kendati yang dia rasakan tak sebesar Sasuke. "Kamu mau minum apa? Aku bakal minta Sai untuk—"
"Nar, tidak usah. Mereka lagi sibuk-sibuknya. Aku enggak mau merepotkan siapapun. Kedatangan aku ke sini untuk permohonan maaf."
"Ah, begitu, ya." Si Uzumaki duduk di seberang Sasuke yang kini menundukkan wajahnya. "Kamu enggak usah minta maaf segala, Sas. Aku bisa memahami keputusan kamu. Aku sudah wanti-wanti kemungkinan baik dan buruknya sejak awal. Apapun jawaban kamu, aku tetap menghormati kamu sebagai teman yang diperhitungkan."
"Kamu apa-apaan sih, Nar? Aku belum ada bicara apa-apa loh, ya. Dan kamu seenaknya menyimpulkan opini kamu." Spontan dahi si Uzumaki berkerut tajam. Ke sekian kalinya dia dibuat bingung oleh sikap atau perkataan Sasuke. "Boleh aku tanya sesuatu ke kamu?"
"Silakan."
"Apa yang bikin kamu mendadak mengajak aku menikah?"
"Feeling. Keinginan itu datang begitu saja."
"Nar, kamu jangan bohong. Aku tahu secinta apa kamu terhadap Konan. Enggak mungkin dong hanya dalam beberapa minggu kedekatan kita kamu langsung berubah haluan."
"Terus, apa yang mau kamu dengar dari aku?"
"Aku mau kamu jawab jujur pertanyaan aku."
"Kamu pikir perkataanku tadi main-main?"
"Aku tidak berprasangka negatif ke kamu, Nar. Aku cuma berpikir lebih realistis. Masa segampang itu kamu mengajak aku menikah. Padahal kita enggak punya hubungan apa-apa. Kita dekat juga karena terpaksa 'kan?"
"Oh. Jadi, kamu menganggap kalau kebersamaan kita selama ini karena paksaan?!" Si Uzumaki manggut-manggut kecewa. Sementara, Sasuke menyadari kesabarannya mulai terkikis. Dia tak mengira akan segini sulit membincangkan perkara tersebut. Dia berharap untuk diyakinkan dengan cara dia, kendati di sisi lain si Uzumaki justru sedang memperlihatkan keseriusan yang sesungguhnya.
"Nar, bisa pakai kepala dingin enggak? Tujuan aku kemari buat diskusi sama kamu. Kenapa kok malah jadi berdebat?"
"Berdebat?! Coba sebelum berbicara kamu pahami dulu sikap dan kata-kata kamu, Sasuke. Yang pertama, kamu seakan menolak lamaran aku. Kamu kira gampang untuk aku mengutarakan itu ke kamu? Aku juga enggak akan segitu ringan melamar anak gadis orang semisal aku sendiri belum ada persiapan, Sas. Jika kamu mengkhawatirkan hal demikian, kamu keliru."
"Ini yang bikin aku malas. Kamu terlalu cepat menuduh orang, Nar. Kamu ada memikirkan perasaan aku, tidak? Aku bingung, Nar. Lamaran kamu yang dadakan begini malah membuatku merasa seperti sengaja dijadikan pelarian."
"Yang menuduh itu kamu atau aku?! Sederhana sih sebenarnya. Tanpa mengurangi rasa hormat aku ke kamu, aku sudah lebih dulu mengenyampingkan keraguan apapun termasuk pertanyaan yang muncul di dalam pikiran aku sendiri. Apa, kenapa dan bagaimana aku nekat memutuskan secepat ini. Semuanya sudah aku atasi hanya dengan satu jawaban, Sas. Aku merasa lempeng, nyaman, dan fokus semenjak di dekat kamu, Sas. Kalau aku mau bisa saja aku merusak kamu dari kemarin. Bukan kelewat percaya diri. Banyak cara yang mampu aku lakukan agar kamu jatuh di pelukan aku tanpa kamu merasa itu desakan. Tapi, aku bukan laki-laki brengsek semacam itu sekalipun kamu pernah menjadi gadis yang luar biasa menyebalkan di mata aku."
"Kok jadi berputar ke mana-mana."
"Terserah kamu. Jika kamu mau diyakinkan, untuk langkah awal hanya itu yang bisa aku tunjukkan. Seperti apa kelanjutannya, kamu bakal lihat setelah menerima lamaran aku. Sekali lagi aku tidak memaksakan kehendakku, Sasuke. Kamu berhak menentukan pilihan."
-----
Menjelang ending ya, kisah mereka 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT GARAGE
Roman d'amourSeumur-umur, Sasuke Uchiha tidak pernah menoleransi yang namanya bau menyengat dan kotor. Apalagi jika berhubungan dengan mesin dan segala perkakasnya. Tetapi, begitu menyaksikan pesona 'Naruto Uzumaki' si montir keren itu, diam-diam Sasuke membia...