2 | Sang Yuwaraja

3.9K 378 8
                                    

Rombongan keluarga Kerajaan Majapahit berhenti tepat di pelataran Keraton Wengker. Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi turun dari kereta kuda yang berhias buah maja berlapis emas dibantu dengan suaminya, Raden Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Para prajurit Bhayangkara membuat formasi lurus membentuk jalan yang akan dilewati Maharani Wilwatikta dan keluarga.

Semua orang membungkukkan tubuhnya saat Rajaputri berjalan melewati mereka. Saat di pertengahan jalan, para wiyasa dan abdi dalem datang, lalu memberi salam kepada penguasa kerajaan terbesar abad ini. Rajaputri menganggukkan kepalanya pelan, ia menyapu ke seluruh penjuru pelataran, nampak adiknya, Dyah Wiyat Bhre Daha, berjalan ke arahnya didampingi oleh Raden Kudamerta Bhre Wengker.

"Salam hamba untuk Gusti Rajaputri dan Raden Cakradhara, semoga kemuliaan Sang Hyang Widhi menyertai," ucap Kudamerta sembari membungkukkan badan dihadapan kakak iparnya.

"Salam Yang Mulia Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Raden Cakradhara, Wengker merasa terhormat dengan kedatangan Gusti Rajaputri," imbuh Dyah Wiyat untuk kakak kandungnya.

Rajaputri Tribhuwana Tunggadewi tersenyum kemudian memegang masing-masing pundak kedua adiknya. "Bangunlah, aku menerima salammu," ujar sang Maharani dengan tatapan teduh.

"Aku tak bisa mengelak bahwa Wengker sungguh indah. Perjalanan yang menakjubkan," puji Cakradhara memasuki lingkaran pembicaraan mereka.

Tepat di belakang Rajaputri dan suaminya, sosok pangeran muda nan gagah berjalan menghampiri mereka. Tak ada yang bisa menolak pesona calon pewaris —sang yuwaraja­— Kerajaan Majapahit itu. Semua orang terkesima. Matanya yang setajam elang menjadi dambaan setiap gadis di Wilwatikta. Pangeran muda itu tersenyum tipis. Di sampingnya terdapat gadis kecil yang dengan setia menggenggam tangannya.

"Salam untuk Paduka Bhre Wengker dan Paduka Bhre Daha," ucap pemuda itu sopan. Aura yang ada di dalam raganya memancarkan kebangsawanan.

Dyah Wiyat membulatkan matanya tidak percaya. Inikah keponakannya yang ia pernah gendong ketika kakaknya sedang bertugas? Sungguh, bayi mungil telah berubah menjadi pemuda yang sangat tampan. Tak mengherankan apabila keponakannya memiliki paras rupawan, Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Cakradhara pun memiliki wajah yang menawan.

"Salam dariku, Bibi dan Paman." Si gadis kecil tak ingin kalah pamor dengan kakaknya. Dengan mata berbinar ia meraih tangan Dyah Wiyat ke arah kepalanya. "Berikan berkatmu kepadaku," pintanya dengan raut yang menggemaskan.

Dyah Wiyat tidak bisa menampik bahwa gadis kecil itu seperti putri tirinya, Sudewi. Meskipun jarang bertemu, ia tak sungkan untuk memulai percakapan. Keberanian yang sama yang dimiliki Sudewi dan keponakannya.

"Hayam Wuruk dan Nertaja, kalian sudah tumbuh dengan sangat cepat. Paman sempat bingung siapa dua bangsawan yang menawan ini." Bhre Wengker terkekeh menyadari bahwa sudah sekian lama ia tak bertemu kedua keponakannya. Memang, jikalau dirinya berkunjung ke Kadatwan Trowulan, tidak pernah ia jumpai Hayam Wuruk maupun Nertaja. Hal tersebut dikarenakan mereka tinggal di sisi istana yang berbeda dengan istana tempat singgah Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Cakradhara.

Kedua keluarga kerajaan itu berjalan menuju pendopo agung Keraton Wengker. Di sana, telah tertata rapi singgasana untuk Rajaputri dan beberapa tempat duduk untuk keluarga kerajaan. Tempat itu disulap dengan sangat indah. Rangkaian bunga tersebar di sudut ruangan dan langit-langit. Bunyi gamelan mengiringi perjamuan keluarga yang hangat itu.

Dyah Wiyat mencuri pandang. Bibirnya tak henti merapalkan sebuah doa. Semoga malam ini Acintya berpihak padanya. Dua orang putrinya belum juga datang. Ia sudah menyuruh Indudewi ke kamar Sudewi untuk kedua kalinya. Akan tetapi, yang Dyah Wiyat dapat hanyalah kekosongan semata. Apabila diibaratkan, jika ada satu kesulitan, maka akan muncul kesulitan lainnya. Kedua putrinya hilang bak ditelan bumi.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang