37 | Hanya Kenangan

2.1K 223 1
                                    

Sang surya menggantikan rembulan. Embun-embun membasahi dedaunan hijau nan menyejukkan mata. Burung-burung pun berkicau menambah keriuhan di Keraton Wengker. Hari ini, Wengker akan melepaskan putri mereka untuk menunaikan tugas yang lebih besar dan tanggung jawab berat menjadi sang Parameswari.

Sebagai calon permaisuri dari kerajaan digdaya, Sudewi harus menjalani pengajaran meliputi tata krama dan sebagainya bersama paricaraka dan pendeta wanita di Istana Trowulan. Ia dipersiapkan menjadi istri raja sekaligus ibu kerajaan. Semua itu nampak membosankan di mata Sudewi. Gadis tersebut hanyalah melihat tembok-tembok kokoh yang berdiri untuk menghalanginya melihat dunia. Sungguh kehidupan yang monoton. Putri Wengker sudah dibayangi hal-hal buruk semenjak berkemas untuk perjalanannya.

"Tinggallah di Keraton Wengker," cetus Sudewi sembari memasukkan barang-barang yang akan ia bawa.

Rarasati menghentikkan aktivitasnya mengemas kain-kain sang Dewi, kemudian menoleh ke arah sumber suara. "Aku akan mengikutimu, Sudewi."

Sudewi berjalan mendekati dayang kepercayaannya. "Aku tak bisa menjagamu di sana, Rarasati. Kau tahu, Istana Trowulan menyimpan beragam intrik di dalamnya. Aku tidak ingin kau menjadi korbannya," tolaknya halus.

Dengan gelengan, Rarasati menjawabnya. "Aku sudah berjanji kepada Biyung untuk selalu menjagamu, Dewi. Ke mana pun kau pergi, aku akan mengikutimu. Tidak perlu membebani dirimu dengan tanggang jawab menjagaku," kilah paricaraka yang menemani tuannya sedari kecil. Mereka lebih mirip sepasang sahabat daripada tuan putri dan pesuruhnya.

Putri Wengker menyentuh pundak dayang kesayangannya. "Kau telah membuktikannya, Rarasati. Selama ini kau selalu menjagaku. Maka, aku bebaskan dirimu. Kau bisa pergi ke mana pun kau inginkan," ungkap Sudewi tak tega apabila mengajak temannya menuju ke nirayaloka kehidupan yang berbalut kemewahan. Istana Trowulan pastilah berbahaya bila dibandingkan dengan Keraton Wengker. Di sana menjadi tempat tinggal para petinggi Majapahit yang bisa saja sewaktu-waktu mencelakai seorang dayang tanpa daya. Pun, sebagai penghuni baru, Sudewi tak bisa berbuat banyak.

Rarasati menyentuh tangan Sudewi di pundaknya, lalu menggenggamnya erat. "Bukankah sudah kukatakan untuk tidak melepas tautan ini?" Sorot matanya berubah menjadi binar-binar kesedihan. "Mengapa kau mengusirku, Dewi?"

Sang Putri membalas tatapan Rarasati yang tak kalah memilukan. "Aku tak bermaksud meninggalkanmu, Teman. Hanya saja ..." Sudewi menghembuskan napas berat sebelum melanjutkan ucapannya. "... aku tidak ingin kekejaman istana raja merenggutmu."

Rarasati mengulas senyuman hangatnya. Ia melepaskan genggamannya di tangan Sudewi, kemudian memeluknya erat. Jujur saja, merelakan sahabatnya untuk hidup di Trowulan tanpa adanya sandaran membuat dayang itu khawatir. Lagipula ia sudah bersumpah kepada Sri Ratih untuk menjaga putrinya apa pun yang terjadi. Bagaimanapun juga, ibunda Sudewi adalah orang yang menyelamatkan hidupnya dan membuat gadis itu menjadi dayang di Keraton Wengker sejak usia belia.

"Kau tak perlu risau, Dewi. Aku akan baik-baik saja, jika kau juga dalam keadaan baik." Perkataan Rarasati tak ayal membuat air mata di pelupuk mata Sudewi mengalir. Akhir-akhir ini sang Putri merasa mudah menangis karena hal-hal kecil.

Mereka menguraikan pelukan, lantas Sudewi memegangi pundak dayangnya dengan kedua tangan. "Berjanjilah untuk selalu mempertahankan hidupmu," tukas Putri Wengker yang diangguki tegas oleh lawan bicaranya.

Pandangan Sudewi beralih kepada sheng dan lontar dari kedua orang yang juga ia kasihi. Ya, Sagara dan Indudewi. Putri bungsu Kudamerta itu tak mungkin meninggalkan dua benda penuh kenangan itu di kamarnya. Lagipula sheng bisa ia mainkan ketika kejenuhan menghampirinya di Istana Trowulan. Sudewi memasukkan benda tersebut ke dalam kotak kayu bersama barang-barang bawaan lain.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang