20 | Wengker Kishori

1.7K 215 2
                                    

Di penghujung tahun, puluhan lukisan mahakarya Sungging Prabangkara telah diletakkan dengan rapi di Keraton Wanguntur. Lukisan-lukisan itu ditutupi oleh kain putih dan hanya sang Maharaja dan orang kepercayaannya yang diperkenankan untuk melihat. Percayalah, putri-putri dari penjuru mayapada yang elok nan memanjakan mata akan dipilih langsung oleh Sri Wilwatikta menjadi parameswari.

Para paricaraka dan abdi dalem Istana Trowulan tengah sibuk menata lukisan tersebut di kediaman pribadi raja mereka. Mereka tak sempat melihat wajah rupawan para putri itu karena prajurit Bhayangkara selalu mengawasi. Jika mereka lancang, maka hukuman menanti saat itu juga. Setelah itu, paricaraka dan abdi dalem diperkenankan untuk meninggalkan tempat tersebut.

Hayam Wuruk didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada dan Ibu Suri Dyah Gitarja memasuki ruangan. Di belakang petinggi Wilwatikta itu, terdapat beberapa prajurit Bhayangkara —sang pengawal raja dengan setia menjaga. Mereka memastikan tidak ada penyusup yang berani memasuki ruangan pribadi tersebut.

Sang Maharaja Majapahit disambut oleh Sungging Prabangkara. Ia tidak ditemani oleh siapa pun kecuali lukisannya sendiri. Juru gambar itu berlutut, memberi salam kepada pemimpin agung kerajaan digdaya bernama sansekerta Wilwatikta. "Salam, Prabu Sri Rajasanagara. Semoga Sang Hyang Widhi selalu memberkati Baginda," ucap Sungging Prabangkara sembari mengatupkan kedua tangannya di atas kepala.

Hayam Wuruk menyejajarkan tubuhnya di depan juru gambar kebanggaannya itu. Lantas, tangan kokoh pria itu menyentuh pundak Sungging Prabangkara. "Bangunlah, Paman," perintah pria itu dengan suara datar.

Sungging Prabangkara pun mematuhinya. Saat ini, kedua pria beda usia itu saling berhadapan. Mahabhusana Rajakaputran Wilwatiktapura membedakan Hayam Wuruk dengan orang-orang yang berada di ruangan itu. Busana yang memberi kesan kemegahan dan kegagahan bagi pemakainya.

"Kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik, Paman. Untuk itu, aku beterima kasih kepadamu," ungkap Hayam Wuruk dengan senyuman tipis di bibirnya.

Sungging Prabangkara menunduk. "Sebuah berkah kepada hamba untuk mengabdi kepada Majapahit," sahut pria itu tanpa berani bersitatap dengan sang Maharaja.

Tanpa menunggu titah dari Hayam Wuruk, Sungging Prabangkara berinisiatif untuk mengenalkan seluruh putri dari kerajaan-kerajaan yang digadang-gadang menjadi permaisuri. Pria itu membuka tangannya ke arah salah satu lukisan. Hayam Wuruk dan lainnya pun mengikuti arahan sang juru gambar. Salah satu lukisan dibuka, sehingga kain putihnya pun berpindah ke belakang. Nampak sebuah gadis yang menampilkan senyum manisnya. Gadis tersebut merupakan salah satu putri dari raja kerajaan vasal Majapahit.

"Ia adalah putri wiyasa di Daha, Baginda," ucap Sungging Prabangkara memperjelas, walaupun di atas lukisan tersebut sudah dituliskan nama dan kerajaan asal para gadis.

Hayam Wuruk mengangguk. Ia mengamati wajah rupawan sang dara. Penguasa Majapahit itu menyetujui bahwa putri tersebut memanglah menawan. Namun, dirinya harus melihat putri lainnya terlebih dahulu sebelum memutuskan. Hayam Wuruk beralih kepada lukisan kedua. Ialah putri dari Kerajaan Paguhan, sebuah kerajaan vasal Majapahit yang berada ujung barat dan berbatasan dengan Kerajaan Pasir Luhur. Putri tersebut memiliki wajah yang memesona dengan kain berwarna merah muda. Ia adalah penggambaran putri keraton seperti pada umumnya.

Penataan lukisan putri raja nampaknya tidak berurutan. Hayam Wuruk menghitungnya, ternyata belum semua lukisan putri dari dua belas kerajaan vasal yang ia lihat. Namun, ia tidak ingin terlalu banyak berkomentar. Lagipula Gajah Mada dan ibundanya tak berucap satu patah kata pun. Hayam Wuruk menuju ke lukisan selanjutnya. Sungging Prabangkara membuka kain putih penutup dan menampilkan wajah elok bagaikan Dewi Laksmi yang dimiliki gadis berkain ungu. Jantung sang Maharaja berdegup kencang. Aliran darahnya terasa lebih cepat. Lukisan itu seperti memiliki sisi magisnya tersendiri. Berbeda dengan lukisan lain. Senyum gadis itu mampu membuat hati Hayam Wuruk bergetar.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang