Arya Maheswara termenung di depan pendopo agung Keraton Wengker. Pria itu sedang memikirkan tindakannya beberapa hari lalu. Dirinya baru saja mengkhianati Bhre Wengker. Mau menangis darah pun, penyesalan tak bisa menghilang. Ia hanya bisa berharap bahwa kejadian itu tidak berdampak besar pada kerajaan ini.
Sudewi melihat orang kepercayaan ayahandanya, kemudian berjalan mendekat. Gadis itu duduk di samping Arya Maheswara tanpa khawatir busananya kotor. Sudewi memahami kegundahan pria tersebut. Ia merasa bersalah ketika meminta Arya Maheswara untuk bergabung dengannya. "Aku tahu, berat bagimu untuk memahami ini," seloroh Sudewi membuka pintu percakapan di antara mereka.
Arya Maheswara menyadari kedatangan gadis itu. Suara Sudewi menariknya dari lamunan. Lalu, Arya Maheswara menggeleng pelan. "Tidak perlu dipikirkan, Gusti Putri. Itu adalah keputusanku," sanggahnya.
Sudewi menekan kedua lututnya. Kemudian menenggelamkan wajahnya di pahanya. "Ah, aku benar-benar egois."
Hari yang menegangkan dimulai. Juru gambar utusan Majapahit tiba di Istana Wengker. Rombongan itu disambut dengan semestinya oleh pihak Wengker. Bagaimanapun juga, mereka adalah perantara pesan antara Bhre Wengker dan Maharaja Wilwatikta. Sungging Prabangkara menerima sambutan Kudamerta dengan tangan terbuka.
"Salam untuk Anda, Sungging Prabangkara. Selamat datang di kerajaan kami," ucap Kudamerta sembari mempersilakan tamu kehormatannya untuk duduk dengan nyaman. Para paricaraka berdatangan membawakan jamuan khas Wengker.
Sungging Prabangkara mengikuti instruksi dari sang tuan rumah. "Rahayu, Raja Wengker. Semoga Acintya selalu memberkati Anda dan juga kerajaan yang indah ini," terima ahli lukis yang ternama itu.
"Saya mendengar bahwa belum lama ini, Anda mengadakan Pawiwahan Hangeng. Maka dari itu, saya mengucapkan selamat kepada Anda karena telah mengantarkan putri Anda merengkuh gerbang perkawinan," tutur Sungging Prabangkara dengan mengatupkan kedua tangan di dada.
Kudamerta yang bergelar Wijayarajasa Bhre Wengker mengangguk, menerima ucapan dari utusan Majapahit tersebut. "Sudah menjadi tugas saya untuk memastikan kehidupan para Putri Wengker berjalan dengan sebaik mungkin," sahut ayahanda dari dua putri jelita itu.
"Tidak lama lagi, Anda akan melaksanakan Pawiwahan Hangeng kembali apabila putri bungsu Anda terpilih menjadi Parameswari Wilwatikta," lontar Sungging Prabangkara menyinggung Sudewi. Pria itu berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya. "Mohon maaf, Gusti Bhre Wengker. Kali ini bukanlah pawiwahan biasa, tetapi Rajawiwaha. Perkawinan agung yang mengikat Maharaja Majapahit dengan permaisurinya," koreksi pria tersebut.
Bhre Wengker hanya mengulas senyum tipis. Diraihnya gagang cangkir yang terbuat dari perunggu berisi teh hangat. "Silakan nikmati sajian yang telah dihidangkan. Kami tahu bahwa Anda telah melewati perjalanan panjang untuk sampai di sini," tawar penguasa Wengker dengan memajukan cangkir yang dipegangnya.
Sungging Prabangkara turut mengambil cangkir berisi teh hangat lalu menyesapnya. "Manis," komentar pria tersebut setelahnya. "Terima kasih atas kemurahan hati Anda, Paduka Bhre Wengker."
Setelah dirasa cukup dengan basa basi mereka, Sungging Prabangkara mengutarakan titah sang Maharaja yang membawanya dan rombongan ke Wengker. Bhre Wengker mengangguk. Ia mencoba untuk tetap tenang, walaupun dalam hati terjadi peperangan hebat.
"Apakah Putri Sudewi telah siap, Gusti Bhre Wengker?" tanya Sungging Prabangkara memastikan.
"Saya di sini, Romo." Terdengar suara seorang gadis yang berada tak jauh dari mereka. Ia telah berdandan sebagaimana mestinya. Wajah ayu Sudewi memukau siapa pun yang melihatnya, termasuk sang juru gambar.
![](https://img.wattpad.com/cover/353488848-288-k721913.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...