Calon mempelai wanita berjalan menyusuri Keraton Wengker diiringi oleh paricaraka. Raut wajahnya tak terbaca. Bibir yang selalu menebar suka cita kini tertutup rapat. Aura pengantin anyar tetaplah memancar, meski dengan hati setengah rela. Di lengan putri bungsu dari Bhre Wengker, tangan yundanya menuntunnya dengan lembut. Sinjang yang dipakai sang Dewi membuatnya tak bisa bergerak bebas. Hanya derap langkah pendek yang bisa ia lakukan.
Sudewi telah memutuskan pilihannya. Ia tak bisa membiarkan keegoisan membumihanguskan Wengker. Kalimat demi kalimat yang Indudewi lontarkan terus berputar dipikirannya. Sudewi seolah menolak lupa. Lagipula, melarikan diri tak menjamin ia dan teman-temannya akan selamat sampai tujuan. Namun, bukankah pelariannya memang tak bertuju? Entahlah, sebuah gada nampaknya telah membentur kepala sang Putri. Terasa sangat sakit, berat sekaligus penuh lara.
Tatapan Indudewi tak diindahkannya. Netra Sudewi memandang lurus ke depan. Ya, tertaut kepada sebuah pendopo agung keraton romonya. Tempat berlangsungnya Upacara Tukon yang amat dihindari, tetapi harus dijalani. Jika saja tidak ada rantai di kakinya, ia akan berlari sekencang mungkin. Lalu berteriak agar semesta sudi mendengarkan keluh kesahnya. Namun, angannya terlalu tinggi untuk bangsawan menyedihkan sepertinya.
Pun, Sudewi berusaha sekuat mungkin agar air mata tak merusak riasan wajah. Sia-sia saja nanti usaha dari perias terkemuka asal Wengker. Sudewi tahu, raganya berada di tempat itu, tetapi jiwa dan hatinya entah tertinggal di mana. Mungkin, para sahabatnya telah menggenggamnya dan membawa pergi bersama bayangan sang Dewi. Alhasil, raga tanpa gairah hidup akan terpampang nyata di depan rakyat Wengker. Lihatlah, calon permaisuri yang telah retak sebelum dibentuk dengan sempurna. Layaknya gerabah yang terbuat dari tanah liat dengan kualitas kurang bagus. Itulah Sudewi dengan asumsinya sendiri.
Rombongan pengantin wanita memasuki pendopo agung. Seketika orang-orang di sana membungkukkan badan kecuali anggota keluarga kerajaan. Sudewi menghentikan langkah. Serakahnya ia karena menghirup udara di sekitar tanpa membaginya dengan sang kakak dan para paricaraka. Lantas, Sudewi memejamkan matanya, menetralisir gejolak penolakan yang terus mendesak keluar. Tidak, ia sudah tidak bisa berkilah lagi.
Saat Sudewi membuka matanya, tatapannya langsung beradu dengan calon suaminya. Pria itu tampan. Ya, Putri Wengker tak bisa mengelak. Bhusana Gagampang Putra tidak bisa menyembunyikan identitas pria tersebut sebagai Maharaja Majapahit. Busana yang Hayam Wuruk kenakan tak jauh berbeda darinya, yang membedakan hanya pria itu memakai kilatbahu dan sabuk. Rambut hitam sebahunya di gelung mengerucut menyerupai candi.
Sudewi memutus kontak matanya terlebih dahulu. Ia menahan diri untuk tidak melemparkan tawon ndas ke wajah rupawan yang senyumannya mampu membuat gadis mana pun terpesona. Indudewi membantu si Nimas duduk di antara romo dan ibundanya. Posisi mereka berseberangan dengan mempelai pria.
Penolakan Sudewi hanyalah tentang pergumulan batin. Ia tak punya kuasa untuk melawan. Bahkan panah dan keris akan luluh lantak hanya dengan kedipan mata calon suaminya. Sudewi tahu, senyum Hayam Wuruk bukanlah senyuman seorang pria yang akan menikahi wanitanya. Akan tetapi, tentang penakhlukkan, bagaikan pemburu dan binatang buruannya.
Ekor mata Sudewi melirik ke arah Kudamerta. Ayahanda itu berdehem sebelum memulai pembicaraan. "Kami haturkan salam untuk Prabu Sri Rajasanagara, Yang Mulia Ibu Suri Dyah Gitarja, dan Paduka Bhre Tumapel." Ucapan salam Bhre Wengker diterima dengan anggukan tegas oleh keluarga mempelai pria.
"Putri saya yang bernama Sri Susumna Dewi telah resmi menerima pinangan Gusti Prabu sebagai istri sah. Maka, Tukon akan kami terima sebagai penghormatan." Penguasa Wengker mengucapkan kata-kata sakral tersebut dipandu oleh Pendeta Siwa.
Lantas bola mata Sudewi bergerak liar. Di sana, ia hanya melihat wajah-wajah penuh suka cita dan harapan yang ditampilkan. Juga riuh kebahagiaan rakyat di luar Keraton Wengker. Ya, Sudewi tak bisa berbuat apa-apa. Dengan diterimanya Tukon dari pengantin pria, maka terbentuklah sebuah pengikat untuk pengantin wanita. Gadis itu menjadi larangan untuk dinikahi. Jika melanggar, maka pernikahan dengan pria lain disebut sebagai perkawinan raksasa. Ah, terdengar seperti Rahwana yang berseru dari Negeri Alengka.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Ficción histórica-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...