28 | Kasih Ibu

1.7K 220 1
                                    

1280 Saka

Memasuki bulan Magha, air mata dari Bapa Angkasa menyapa Ibu Bumi. Para petani menyambutnya dengan suka cita. Hujan adalah berkah. Mereka terhindar dari gagal panen yang menghantui. Bisa dipastikan saat bulan Caitra nanti, Wengker akan membayar upeti kepada pihak Majapahit tepat waktu. Lain halnya dengan para pedagang, mereka carut-marut mencari daun pisang dan penutup lainnya agar dagangan mereka tak terkena air. Begitupun dengan vaniyaga atau saudagar asal daratan Yuan, mereka buru-buru menyelamatkan gerabah yang terbuat dari bahan terakota. Bentuknya pun bermacam-macam, dari binatang hingga kepala manusia. Adapun yang menjadi simbol kemakmuran di Wilwatikta adalah celengan babi.

Perkembangan ekonomi yang pesat di Wengker mengesankan bagi kerajaan vasal lainnya. Begitu pula dengan Kahuripan yang dipimpin oleh Rajaputri terdahulu, daerah tersebut memiliki hubungan erat dengan Wengker di bagian selatan Jawadwipa. Namun, bukan perihal itulah tujuan Kahuripan memutuskan untuk bertolak ke Wengker. Terdapat hal lain yang tak kalah penting dari cemerlangnya ekonomi. Tak lain dan tak bukan adalah menghadirkan penerus Wangsa Rajasa melalui Rajawiwaha.

Tanah yang basah akibat rintik hujan membuat kereta berhias bergas yang memasuki pelataran Keraton Wengker sedikit kotor. Prajurit Wengker menyipitkan matanya, dan segera mereka menyadari bahwa rombongan dari Kahuripan bertandang ke istana mereka. Dengan cepat, salah satu dari mereka mengabarkan hal penting itu kepada para abdi dalem. Di belakang rombongan dari Kahuripan, kereta bergambar dahakusuma berlapis emas mengekorinya.

Ibu Suri Dyah Gitarja, sang penguasa Kahuripan turun dari keretanya diiringi para emban dan prajurit yang mengawalnya. Mereka berjalan memasuki pendopo utama Wengker. Tiba di tempat itu, Dyah Gitarja berhenti sejenak. Pendopo utama Wengker membuatnya terlempar menuju memori masa lalu. Di sinilah putranya dinobatkan menjadi yuwaraja. Dyah Gitarja mengulas senyum, tidak ada yang berubah dari tempat itu. Ia tak akan melupakan keraton milik adik iparnya yang penuh kenangan ini.

"Salam, Ibu Suri Dyah Gitarja dan Raden Cakradhara," sapa Bhre Wengker dengan membungkukkan tubuhnya.

Sementara itu, Dyah Gitarja menyentuh kedua pundak adik iparnya, memberi arti bahwa salamnya telah diterima. "Salam dariku, Bhre Wengker. Semoga Sang Hyang Agung selalu memberkati kerajaan yang indah ini," jawabnya dengan diikuti senyuman manis.

Raden Cakradhara menyambut hangat adik iparnya. "Semoga kebahagiaan selalu menyelimutimu," ujar suami Dyah Gitarja dengan memeluk Bhre Wengker dan menepuk punggungnya.

Tak memosisikan diri sebagai tamu, Dyah Wiyat yang turun dari keretanya pun dengan cekatan berdiri di sisi suaminya, Bhre Wengker. Kemudian ia mengulurkan tangannya, sembari berucap, "silakan duduk, Paduka Ibu Suri dan Gusti Bhre Tumapel," pintanya tanpa memandang sang Ibu Suri Majapahit adalah kakak kandungnya sendiri.

Kudamerta dan Dyah Wiyat duduk berseberangan dengan tamu kehormatannya. Tak lama, beberapa paricaraka menyajikan srebad dan hidangan untuk Dyah Gitarja dan suaminya. Di sekeliling pendopo agung, prajurit baik dari Wengker, Kahuripan, maupun Daha berjaga agar pertemuan keluarga itu berjalan dengan lancar tanpa gangguan.

"Kami mengunjungimu sebagai keluarga, maka bersikaplah layaknya adik kepada kakaknya," cetus Dyah Gitarja sembari menyesap srebad yang cocok diminum kala hujan rintik-rintik dan semilir angin yang dingin menyapa kulit. "Tidak ada yang berbeda dari srebad ini, persis seperti pendopo agung Wengker kala menobatkan putraku menjadi Yuwaraja Wilwatikta." Dyah Gitarja meletakkan gelas emas tersebut di atas meja.

Bhre Wengker menyunggingkan bibirnya, kemudian melirik sekilas ke arah istrinya. Lalu, tatapannya tertuju kepada Dyah Gitarja. "Ada apa Yunda dan Kanda datang ke mari? Mengapa tidak mengundang kami saja?" lontarnya masih menjaga kontak mata dengan sang ibunda raja.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang