Derap langkah para paricaraka mewarnai sebuah kamar. Mereka silih berganti memasuki ruangan yang sudah dihias dengan berbagai bunga yang digantungkan di dinding dan langit-langit. Semerbak harum memenuhi tempat itu hingga bau tak sedap pun sungkan mengusiknya. Di depan meja rias dengan kaca benggala besar, nampaklah seorang gadis yang akan menjadi lakon utama hari ini, mungkin sampai seluruh prosesi acara selesai.
Mereka memakaikan pakaian yang disebut dengan Bhusana Gagampang Putri untuk sang dara, dengan sinjang yang menutupi kaki bersih nan terawat. Rambut hitam legam panjangnya digelung miring ke kiri. Leher bersih dan cerah gadis tersebut diberi kalung. Tak lupa, suweng yang terbuat dari emas bertengger manis di telinganya. Pinggang gadis itu dililit dua kain polos, sehingga membentuk kampuh.
Salah satu paricaraka memasangkan gelangkana berlapis emas bertakhtakan berlian dipergelangan tangan gadis yang tengah diam mengamati dirinya sendiri di cermin. Paricaraka yang lain bersimpuh untuk memakaikan binggel di pergelangan kakinya, serta kaki sang Putri diberi alas sepasang gamparan. Untuk sentuhan terakhir sebelum berlanjut ke Pahyas Wilwatiktapura adalah meletakkan tajuk anggrek sasangka berwarna putih di ubun-ubun gadis tersebut dan sekartaji di telinga. Setelah itu, perias terkemuka di Wengker mengambil alih tugas para paricaraka. Pipi sang Dewi diberi pupur menur dan bibirnya dipoles lati aruna. Alisnya dibentuk seperti bulan sabit yang disebut dengan halis luncip candra tanggal. Perias itu juga merias bagian kelopak mata menjadi sipat pupus padu. Pada bagian pelipis sang Putri, perias memberi hiasan yang berupa cecek kembang ing hawu.
Saat ini giliran Wiku Wrddhacari memberi tilaka pada dahi sang Dewi. Maka, lengkaplah sudah mempelai wanita yang akan menjelma sebagai Parameswari Wilwatikta. Ya, ialah Sudewi. Tak ada senyuman yang menghiasi bibirnya sejak dirinya diperintahkan bersiap sebelum ayam berkokok. Seharusnya, pernikahan adalah momen yang membahagiakan, tetapi tidak dengan Putri Wengker. Wajahnya bermuram durja, bahkan paricaraka dan perias yang membantunya mempersiapkan diri tak berani menegur tuan putri dari Wengker itu.
Aura Sudewi sangatlah berbeda. Ia seperti bukan tuan putri yang para bawahannya kenal. Gadis itu menuruti apa kata mereka tanpa mempertanyakannya. Tak ada kilatan kebahagiaan yang terpancar dari kedua bola mata cokelat indah itu. Entah apa yang dipikirkan tuan mereka. Mungkin Putri Wengker tengah gugup menjelang prosesi Rajawiwaha yang pertama.
Setelah paricaraka dan perias undur diri karena telah selesai menunaikan tugas mereka, muncullah Indudewi dengan busana megah yang menandakan ia adalah penguasa Lasem. Tidak ada sambutan apa pun yang Sudewi berikan, sehingga Indudewi memutuskan untuk berjalan mendekat. Dipegangnya pundak si Nimas, kemudian bibir Indudewi mengarah kepada telinga adiknya.
"Jangan mengingat kejadian semalam, lupakanlah. Aku menganggap peristiwa itu tak pernah ada, Sudewi," pinta Indudewi lembut.
Sudewi bergeming. Pandangannya terkunci pada pantulan dirinya sendiri. Sang Dewi nampak sangat jelita, apalagi hari ini adalah Upacara Tukon-nya dengan penguasa Wilwatikta, sosok sang Maharaja yang membawahi raja-raja di Jawadwipa dan para Rakryan di Sweta Dwipa. Sebentar lagi, ia akan duduk bersanding dengan pemegang lancana Surya Majapahit. Bukankah sebuah posisi terhormat dan dambaan bagi setiap gadis di tanah ini? Bukankah seharusnya Putri Wengker menyambutnya dengan suka cita?
Busur Sudewi terlepas dari tangannya, sehingga jatuh di tanah. Tidak ada daya bagi sang Putri untuk mempertahankan benda itu agar tetap berada digenggamannya. Sudewi mendesah pelan. Melihat sorot mata kakaknya yang penuh kekecewaan, membuat hatinya ikut terusik oleh rasa bersalah.
"Aku tidak bisa, Yunda," ulangnya tanpa tenaga. Namun, suara Sudewi masih bisa terdengar jelas di telinga Indudewi.
Indudewi mengambil langkah maju. Ia semakin mengikis jarak di antara dirinya dan si Nimas. "Apakah kau ingin melihat teman-temanmu mati malam ini, Dewi?"
![](https://img.wattpad.com/cover/353488848-288-k721913.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...