17 | Tak Kuasa

1.1K 151 5
                                    

1277 Saka

Maharaja Majapahit menggelar perjamuan kecil dengan dewan kerajaan dan Puruhita. Beberapa bulan yang lalu Hayam Wuruk diganggu oleh desas-desus di dalam Istana Trowulan mengenai calon ibu Kerajaan Majapahit. Ya, penguasa Wilwatikta yang telah naik takhta beberapa tahun lalu belum memiliki permaisuri untuk bersanding dengannya.

Tentu hal tersebut menjadi kekhawatiran setiap khalayak di Majapahit mengenai keberlangsungan Wangsa Rajasa. Mereka membutuhkan penerus untuk mewarisi tumpu kerajaan. Pemilihan permaisuri tidak bisa dilaksanakan dengan sembarangan. Wanita yang akan menduduki takhta tertinggi seorang wanita raja di Wilwatikta haruslah berasal dari keluarga bangsawan.

Topik tentang pernikahan agung itulah yang menjadi pembahasan hangat di istana. Maka dari itu, Hayam Wuruk bertindak cepat dengan memanggil seluruh dewan kerajaan dan Penasihat Agung Kerajaan agar menemui jalan keluar. Mau tidak mau, siap tidak siap, Hayam Wuruk harus segera menikahi sosok wanita terhormat berdarah biru. Pria itu menyentuh kepalanya yang memanas. Para dewan seolah memiliki rencananya masing-masing. Begitu banyak suara yang ditangkap oleh orang nomor satu di Majapahit tersebut.

"Mohon, ampun, Gusti Prabu. Apakah sebaiknya kita harus menyeleksi calon parameswari tidak hanya di Jawadwipa saja?" saran salah satu anggota Puruhita.

Seorang anggota dewan kerajaan berlutut di depan singgasana sang Maharaja. "Izinkan hamba berpendapat, Yang Mulia Sri Nata Wilwatikta," pintanya.

Hayam Wuruk mengangguk. Ia mengulurkan tangan kanan tanda mempersilakan. "Tentu," balasnya singkat.

"Parameswari haruslah berdarah Jawa murni, Paduka Raja. Maka dari itu, pemilihan parameswari Wilwatikta sebaiknya diadakan di Jawadwipa. Kita memiliki dua belas kerajaan vasal. Salah satu dari mereka pastilah memiliki putri yang memenuhi kriteria sebagai permaisuri," saran pria itu.

"Benar, Gusti Sri Nata, parameswari haruslah bangsawan wanita yang berasal dari Jawa, agar menjaga kemurnian Wangsa Rajasa," timpal yang lain menyetujui pendapat dewan kerajaan.

Hayam Wuruk menolehkan kepala menuju ke arah Gajah Mada dan Dyah Gitarja. Kedua sosok dibalik kebesaran Majapahit itu belum juga membuka suara. Hayam Wuruk berdecak kesal. Ia membutuhkan saran baik dari Mahapatih Majapahit maupun sang Ibu Suri. "Bagaimana menurut Anda, Paman?" tanya Hayam Wuruk yang tak sabar menanti mahapatihnya berbicara.

Gajah Mada berdehem. Ia melatakkan kedua tangannya di paha. "Tidak ada yang salah dengan pendapat petinggi Wilwatikta di sini. Namun, wanita terbaik dapat hadir dari mana saja, tak memandang tempat dan asal. Maka dari itu, keputusan mengenai calon pendamping Maharaja Majapahit ada di tangan Baginda sendiri. Kami akan mengikuti segala perintah yang Baginda putuskan," sahutnya dengan kewibawaan terpancar pada setiap kalimat yang ia lontarkan.

Hayam Wuruk mengangguk. "Adakah saran dari kalian demi keberlangsungan kerajaan ini?" tanyanya sekali lagi, memastikan bahwa para petinggi istana tidak kehilangan suaranya.

"Mohon ampun, Paduka Prabu. Apabila kita mendatangi satu per satu kerajaan akan memakan waktu yang cukup lama," ujar salah satu Puruhita.

Hayam Wuruk menghembuskan napas pelan. Ia memutar otaknya agar bisa berpikir dengan jernih. "Kita tidak akan mendatanginya satu per satu. Aku tahu itu akan menghabiskan waktu, tenaga, dan dana yang dikeluarkan. Maka dari itu, adakah usulan lain?" Pria itu kembali melempar pertanyaan kepada para hadirin.

Patih Madhu beranjak dari kursinya. Ia berlutut menghadap rajanya yang perkasa. "Hamba izin mengutarakan pendapat, Gusti Sri Rajasanagara," izinnya, Hayam Wuruk mengangguk sebagai jawaban. "Ada seorang juru gambar yang tersohor bernama Sungging Prabangkara. Ia adalah seniman lukis yang tidak ada duanya di tanah ini. Lukisannya pun persis seperti kenyataan karena dirinya adalah sosok yang jujur. Ia melukis apa adanya, terutama melukis wajah seseorang," ungkap Patih Madhu.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang