Sagara melihat seorang gadis berlari ke arahnya. Ialah Putri Wengker yang selalu ada dalam mimpi ketika berjauhan dengannya. Tak lama kemudian, gadis muda itu telah sampai tepat dihadapan anggota wwang jaladhi tersebut. Pipinya memerah dengan mata berbinar menghiasi wajahnya yang ayu.
"Sudewi," gumam Sagara. Pemuda itu berdecak kagum dengan kecantikan gadis itu yang semakin bertambah. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat bagi manusia untuk bertumbuh. Sungguh, ia terperangah dengan Sudewi yang hadir bagaikan bidadari.
Sudewi memegang dadanya. Ia terengah-engah, tetapi tetap mempertahankan raut muka ceria. Dirinya ingin tampil bahagia di depan Sagara. "Kukira kau bertugas di perairan Sweta Dwipa atau Yuan Raya," paparnya.
Sagara melengkungkan bibirnya ke atas. Ia juga tak menyangka dapat bertemu Sudewi di Pelabuhan Canggu, tepi Kali Brantas. "Sang Hyang Agung selalu memiliki rencana yang indah," sahut pemuda itu sambil menyeka keringat yang menetes di dahinya. "Maaf, Dewi. Bau badanku bisa mengganggumu," lirihnya menyesal. Siang itu, matahari terasa sangat menyengat, apalagi dirinya sedari pagi berjibaku mendampingi Maharaja Sri Rajasanagara.
Sudewi menggerakkan telapak tangan ke kanan dan ke kiri di depan wajah pemuda itu. "Jangan memperlakukanku seperti orang asing, Sagara. Perkataanmu membuat suasana hatiku memburuk," dengus putri dari Wengker itu dan pura-pura menampilkan mimik wajah yang dipenuhi amarah.
Sagara menggeleng pelan. Rajukan palsu Sudewi begitu kentara di netranya. "Tersenyumlah, kau seperti Kaliya jika sedang mengomel," candanya sembari mengacak-acak pucuk rambut Sudewi.
"Singkirkan tanganmu, Sagara. Rambutku akan berbau busuk seperti keringatmu," geram Sudewi sembari menghalau tangan Sagara di kepalanya. Lantas ia merapikan rambutnya seperti sedia kala.
Sagara mati-matian tidak mencubit pipi gadis itu yang terlihat gemas di matanya. Apalagi saat Sudewi sedang mengeluarkan ocehan bak tawon ndas. "Kau berkata bahwa kita bukan orang asing. Bukan sekali aku pernah bermain dengan rambutmu," sanggahnya.
"Tetap saja situasinya berbeda!" sanggah gadis bermata cokelat itu.
Sagara mengangguk-anggukan kepalanya. "Ya, ya, perempuan memang begitu. Jadi, maafkan aku. Kau benar dan aku salah, Sudewi." Lebih baik Sagara mengalah daripada gadis itu berubah menjadi semakin ganas.
Sudewi sengaja menginjak salah satu kaki Sagara menggunakan gamparan-nya. Walaupun pelan, tetapi pemuda itu kesakitan, sehingga menekuk kakinya ke atas, lalu mengelus bagian yang diinjak temannya. "Padahal aku sudah meminta maaf," rintihnya.
Tak menghiraukan protes Sagara, putri tiri Rajadewi itu mengalihkan pembicaraan. "Jadi kapan kau kembali ke Wengker?" tanya Sudewi. Bertugas di tempat yang tak tentu serta tidak ada kepastian mengenai kepulangan sahabatnya membuat Putri Wengker itu khawatir. Sebenarnya, ia berat hati melepas sahabatnya untuk bergabung dengan wwang jaladhi. Masih banyak perkerjaan yang bisa pemuda tangguh tersebut lakukan. Akan tetapi, Sudewi akhirnya mengalah. Pengabdian Sagara kepada Wilwatikta memang tidak main-main. Keselamatan kerajaan itu menjadi prioritas bagi Sagara.
Sagara menghela napas panjang. "Aku tidak bisa memastikannya, Dewi. Setelah ini, aku akan berangkat ke Quánzhou. Pasukan kami harus mengawal Mpu Lembu Nala bertemu utusan Kaisar Shun Ti untuk menindaklanjuti keputusan Yuan Raya yang tidak memenuhi undangan Maharaja Sri Wilwatikta," jelasnya sesuai keadaan. Ia dapat melihat pancaran kekecewaan di mata gadisnya. "Jangan mengkhawatirkanku, Dewi. Satu atau dua tahun lagi, aku pasti akan kembali."
"Aku selalu menantimu, Sagara." Pemuda itu mengelus rambut Sudewi kembali. Kali ini, Putri Wengker tidak memberikan penolakan. "Tetaplah hidup, Teman. Setidaknya demi diriku," tandas sang Dewi.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PUTRI
Fiksi Sejarah-Historical Fiction- {Apsara Majapahit I} Apsara adalah makhluk kayangan (bidadari). Diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu apsari yang terdapat dalam pupuh 27 bait 1 Kakawin Nagarakretagama. Namanya memang tak semegah Gayatri Rajapatni ataupun Tribhu...