5 | Utang Budi

2.8K 311 2
                                    

Sudewi berjalan mengendap-endap. Ia melihat ke sekeliling hutan. Gadis itu khawatir jika ada penyamun yang meloloskan diri dan menyerangnya. Sesekali dirinya menggaruk lengannya yang memerah akibat gigitan semut angkrang. Ia masih pada posisi siap menyerang dengan busur mengacung sempurna.

Setelah dirasa aman, Sudewi meletakkan busur milik Sagara di punggungnya. Rasa gatal yang membakar mulai menyiksa tubuhnya. Apabila ia terus menggaruk, maka akan menimbulkan luka. Maka dari itu, Sudewi mulai mati-matian memahan tangannya agar tidak menggaruk bekas gigitan semut angkrang.

Sudewi berjalan tak tentu arah. Ia hanya mengingat Sagara mengajak Hayam Wuruk dan Nertaja berlari ke arah Kali Keyang. Gadis dengan sanggul yang mulai terurai itu yakin, mereka masih menunggu dirinya di sana. Sudewi melangkahkan kakinya perlahan menuju ke tempat tersebut. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu, kemudian ia membalikkan badan. Tidak ada tanda-tanda prajurit Bhayangkara. Mungkin mereka sedang berkamuflase lagi atau menyusul Hayam Wuruk dan adiknya, pikir Sudewi.

Sudewi mengendikkan bahunya. Kesendirian bukanlah hal yang baru baginya. Ia melanjutkan perjalanannya kembali. Sudewi menghirup udara hutan sebanyak-banyaknya. Terasa segar, sama seperti saat ia belajar memanah dengan Rarasati. Warna hijau yang dominan mempercantik pemandangan.

Sudewi menengadah saat mendengar burung-burung berkicau. Ia meletakkan salah satu tangannya di dahi karena sinar matahari yang menyilaukan mata. Terdapat beberapa burung yang terbang ke sana ke mari. Burung-burung itu memiliki ragam jenis, ada yang berpasangan, ada pula yang sendirian sepertinya. Sudewi terkekeh pelan. Sungguh alam begitu ampuh menyindirnya.

Di sisi lain, Sagara berjalan ke kanan dan ke kiri. Laki-laki itu terlihat resah karena Sudewi tak kunjung menyusulnya. Matahari sudah di atas kepala, tetapi Sudewi belum tampak batang hidungnya. Sagara khawatir ada sesuatu yang buruk menimpa gadis itu.

"Bisakah kau diam? Kau begitu mengganggu pandangku. Lebih baik kau duduk saja," gumam Hayam Wuruk yang duduk di salah satu batu. Ya, saat ini, mereka sedang berada di pinggir Kali Keyang.

Tak mendapat tanggapan apapun dari Sagara, Hayam Wuruk pun merubah posisinya. Ia berdiri dan mendekati teman Sudewi itu. "Duduklah, Sudewi akan segera datang," perintahnya.

Sagara mengangkat salah satu alisnya. "Bahkan kau tidak peduli dengan orang yang sudah menyelamatkanmu dan adikmu," sahutnya berani. Bagaimana bisa ia bersantai sedangkan Sudewi tidak kunjung hadir. Sagara hanya dapat bernapas lega sampai sang Dewi ada di depan matanya.

"Aku tidak seperti yang kau pikirkan, Sagara," sanggah Hayam Wuruk.

Sagara tampak tak peduli dengan ocehan Hayam Wuruk. "Utang budimu kepada Sudewi sangat besar, Krishna. Kau berutang nyawa padanya."

Hayam Wuruk menoleh singkat kepada Sagara. Laki-laki itu termenung. Dilihatnya Nertaja yang duduk sembaru memeluk lututnya. Benar, Sudewi telah menyelamatkan mereka dari marabahaya. Sekarang gadis itu malah hilang entah ke mana. Sudah sepatutnya Sagara mencemaskan Sudewi.

"Aku akan menyusulnya," putus Hayam Wuruk kemudian.

Saat hendak pergi, Sagara menghentikannya. Hayam Wuruk menatap tajam mata pemuda yang ada di depannya. Beraninya ia menghalau jalan sang Yuwaraja Wilwatikta. Ia menatap Sagara tak suka. "Menyingkirlah!" usirnya.

Sagara menahan kekehan yang akan keluar. Ternyata Hayam Wuruk begitu polos. Sagara tahu bahwa Hayam Wuruk pun kebingungan dan tidak tahu di mana Sudewi berada. Yang ada Hayam Wuruk tersesat.

"Jika kau yang tersesat, maka akan menyulitkanku dan Sudewi."

Hayam Wuruk berdecih. "Kau pun tak tahu di mana Sudewi berada," balasnya tak mau kalah.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang