23 | Api Keraguan

1.1K 137 3
                                    

Setelah mendoakan ibunda dengan menaburkan aneka bunga, Sudewi bergegas menghampiri Sagara. Pria itu tengah membuat api unggun sebelum matahari benar-benar menyembunyikan sinarnya. Jika tidak, maka mereka akan diselimuti sang kelam. Lihatlah, sang surya terbenam diiringi oleh semburat jingga bernama senja.

"Perlu bantuan?" tawar Sudewi yang melihat temannya berjibaku dengan kayu kering dan batu.

"Ya, ambillah kain dari tempat perbekalan dan bentangkan di dekat sini," ucap Sagara dengan menunjuk ke arah kudanya.

Tanpa pikir panjang, Sudewi pun menurutinya. Memang, mereka memutuskan untuk bermalam di sana karena tidak mungkin kembali saat malam tiba. Lagipula selain binatang buas, terdapat banyak penyamun yang berkeliaran. Untung saja, Sagara telah memprediksi kemungkinan terburuk ini. Sudewi menggelar dua buah kain, seperti perintah Sagara. Bersamaan dengan itu, api mulai menyala, walau masih sangat kecil dan panasnya belum bisa menghangatkan tubuh. Namun, setidaknya usaha Sagara tidak sia-sia. Pemuda itu menaruh batu, melingkari tempat api unggun untuk menghalau agar apinya tidak berkobar ke segala arah.

"Duduklah, Dewi. Aku akan mengambil persediaan kita," pinta Sagara, kemudian berdiri dan berjalan menjauhi Sudewi.

Sudewi pun mengangguk, ia memajukan kedua tangannya. Terasa hangat menyelimuti tubuh yang mulai kedinginan karena angin malam. Saat Sudewi melihat ke arah laut, hanya kegelapan yang menyertainya. Jadi, seperti inilah kiranya saat Sagara berada di kapal mengarungi gulitanya lautan. Tampak mengerikan, pikir Sudewi.

Tak lama, Sagara datang dengan beberapa ubi di tangannya. Lalu ia mengulungkannya kepada Sudewi. "Letakkan ubi ini pada perapian, tetapi jangan terlalu ke tengah, tanganmu bisa terbakar," pesan pemuda tersebut.

Sudewi mengiyakan. Ia meletakkan beberapa ubi pada pinggiran api unggun. "Berapa lama, Sagara?"

"Tidak lama, aku yang akan memastikan sudah matang atau belum." Sagara membersihkan ikan yang tadi ditangkapnya. Lantas, tangan lihai itu melumuri ikan dengan berbagai bumbu rempah yang ia bawa dari rumah. Sudewi memperhatikan gerakan temannya dalam meracik sebuah hidangan.

Memanglah kemampuan dalam memasak diperlukan demi memenuhi kebutuhan. Apalagi Sagara adalah anggota wwang jaladhi, di mana perkerjaan sehari-hari mereka mengembara di atas lautan luas. Maka dari itu, ikan dan segala yang ada di dalam laut merupakan sahabat mereka.

"Saat di buritan, kami bergantian dalam memasak untuk seluruh penguni kapal. Biasanya kami akan bergilir sesuai dengan jadwal. Satu kelompok terdiri dari tiga sampai empat orang. Maka dari itu, mau tak mau, kami harus belajar memasak jika tidak ingin dicap sebagai beban oleh anggota lain." Begitulah Sagara memberikan penjelasan. Tanpa Sudewi bertanya pun, pemuda itu tahu dari sorot mata sang Putri.

"Sudewi, keahilan seorang prajurit tidak hanya berperang, tetapi juga bertahan hidup. Jika kami tak mampu menjaga diri kami, siapa yang akan menjaga kerajaan ini," tandas Sagara sembari menusuk ikan-ikan tersebut kemudian mengarahkannya ke perapian. "Jika sudah matang, letakkan ikan di atas daun pisang."

Dengan cekatan, Sudewi menata daun-daun pisang supaya Sagara dapat dengan mudah menyimpan ikan yang sudah matang. Harum semerbak ketika ikan yang telah matang sempurna menggoda lidah untuk merasakannya. Sudewi menatap ikan-ikan tersebut penuh minat. Hal tersebut membuat Sagara terkekeh melihat mimik wajah sang Putri yang begitu menggemaskan.

"Makanlah, Dewi." Sagara memang peka, itulah bakat alami pemuda itu. "Ayolah, jangan sungkan," tawarnya lagi.

Sudewi mengipasi ikan tersebut supaya tak terlalu panas. Namun, tetap saja, ketika menyentuh permukaannya, sontak gadis itu langsung menarik tangannya dan mengibaskannya ke udara. "Panas sekali," keluhnya.

APSARA MAJA : SANG PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang